Setelah menikmati suasana indah di Danau Taman Hidup dan
puncak Rengganis, tujuan berikutnya adalah lembah Cikasur. Cuaca tak mau
berkompromi ketika kami akan memulai perjalanan dari Cisentor menuju Cikasur.
Hujan tidak juga reda dari tengah malam hingga siang bolong. Alhasil, kami
bangun kesiangan. Kami segera memasak, beres-beres, dan capcus. Pukul 1 siang,
kami baru berangkat menuju Cikasur. Kami sempat bersisipan dengan 3 orang
pendaki asal Semarang. Tiba-tiba cuaca cerah dan panas. Beruntung sekali ketiga
pendaki tersebut, pasti mereka mendapat gambar yang lebih cerah di puncak.
Kemarin kami hanya mendapat gambar puncak berlatar belakang kabut tebal dan
mendungnya langit. Tapi kami tetap bersyukur sempat melihat langsung makam Dewi
Rengganis yang terdapat di atas puncak.
Perjalanan
dari Cisentor ke Cikasur
Waktu yang kami perlukan untuk sampai di Cikasur dari
Cisentor hanya 2,5 jam. Medan yang kami lalui pun sangat memanjakan mata.
Meskipun sebelumnya kami melewati pemandangan monoton tanaman setinggi
alang-alang yang tumbuh liar, akhirnya kami menemukan sabana yang sangat indah
ditumbuhi berbuket-buket rumput liar yang tertata apik. Sekitar Pkl 15.30 WIB
Kami sampai di hamparan savana dengan garis bekas landasan pesawat terbang
Jepang yang masih bisa terlihat jelas. Inilah pemandangan di Cikasur.
Rumput-rumput hijau bergoyang tertiup semilirnya angin pegunungan. Sangat
menentramkan hati, disamping juga menegakkan bulu kuduk karena cerita misteri
di lembah ini.
Berlatar belakang Lembah Cikasur
Cikasur memang terkenal dengan kisah
mistisnya. Maklum saja, disini tempat bekas tempat penyiksaan pekerja rodi oleh
tentara Jepang. Konon katanya sering terdengar suara seperti aba-aba
baris-berbaris dalam bahasa jawa. Kadang terdengar juga suara isak tangis yang
menyayat dari bekas landasan tersebut. Untung saja kami tidak menjumpai yang
beginian.
Ketika yang lain sibuk memasang tenda di dekat sebuah
pondokan, Aku, Janah, dan Nurma melarikan diri di sebuah sungai kecil tak jauh
dari tempat kami memasang tenda. Kami bertiga sibuk menikmati keindahan sekitar
sungai itu sambil berfoto-foto dan memanen selada air hingga dua kresek besar.
Selada air ini nantinya akan kami masak menjadi tumis yang katanya lezat dan
sebagian lagi akan kami bawa pulang sebagai oleh-oleh. Sungainya kecil dengan
sepanjang jalur ditumbuhi selada air dan bunga-bunga yang indah. Aku sangat
senang bisa meminum langsung air di sungai sejernih ini, airnya sangat segar
dan bebas pencemaran. Mungkin jika seumur hidup tinggal disini, umurku akan
panjang, dan riwayat kematianku bukan karena penyakit melainkan karena
kedinginan. hahaha.
Sungai Cikasurpenuh selada air
Kami memasak di dalam pondokan. Karena kompor kami
sedikit bermasalah, akhirnya kami memasak di atas tumpukan batu. Angin yang
lumayan kencang memaksa kami untuk mengeluarkan usaha dan kesabaran yang ekstra
untuk mematangkan sekedar nasi, tumis, dan air hangat. Kepulan asap yang
ditimbulkan dari api pembakaran membuat mata terasa pedih. Setelah masakan
siap, kami segera menyantapnya di dalam tenda. Sambil berfoto ria.
Pondokan di Cikasur
Esok hari kami sama-sama memasak di dalam pondokan bersama
beberapa rombongan dari Jember. Kami berkenalan. Mereka berasal dari salah satu
Sispala atau pecinta alamnya anak SMA di Jember. Puluhan dari mereka masih SMA,
sedangkan beberapa diantaranya adalah alumni yang bertugas untuk membina
adik-adiknya. Mereka bercerita banyak, dan diantaranya adalah cerita mistis.
Mulai dari bertemu sosok perempuan di kamar mandi Baderan, dikejar orang tua
tanda petik makhluk gaib, hingga dibangunkan suara nangka jatuh pada tengah
malam. Aku sendiri percaya tidak percaya karena semalam kami baik-baik saja.
Sama sekali tidak ada suara aneh yang mengganggu kami kecuali suara angin
kencang yang membelai rumput dan tenda kami. Namun ada satu cerita misteri yang
benar-benar kami alami di Cikasur. Pada saat asyik memasak sambil bercerita,
tiba-tiba terdengar satu suara pukulan gong yang lumayan keras. Anehnya, kami
semua mendengarnya. Pada awalnya aku tidak ngeh. Aku kira itu suara berasal
dari desa di sekitar Cikasur, sampai akhirnya aku sadar, desa terdekat adalah
Desa Baderan dan untuk mencapainya kami masih harus berjalan naik turun bukit
selama 8 jam. Jadi tidak mungkin suara dari desa terdengar disini. Kami semua
menyimpulkan bahwa itu suara makhluk gaib yang sedang ada gawe “mengadakan
pesta”. Aku masih percaya dan tidak percaya, masih bertanya-tanya sampai
sekarang walaupun tahu tak seorang pun dapat menjawabnya.
Perjalanan
pulang “Cikasur menuju Baderan”
Siang hari sekitar pkl 10.00 WIB
kami segera melanjutkan perjalanan pulang menuju Baderan. Jalur yang kami lalui
lumayan landai dan banyak turunnya, namun tak sedikit pula bukit yang memaksa
kita untuk menaikinya kemudian menuruninya. Kakiku rasanya ingin copot dari
pergelangannya. Untuk mencapai Cikasur dari Baderan sebenarnya bisa dengan
hanya membayar seratus ribu, dan sebuah motor ojek siap mengantarkan kita. Tapi
aku tidak bisa membayangkan apakah nanti jantungku akan baik-baik saja jika
benar-benar naik ojek di jalur itu, jalan kaki saja aku sudah kepleset beberapa
kali sampai pantatku terasa memar.
Akhirnya kami sampai di
Kecamatan Besuki, Desa Baderan sekitar menjelang magrip. Tak terasa sudah
hampir 8 jam kami berjalan naik turun bukit. Aku langsung duduk di depan rumah
warga, melepas lelah. Banyak tukang ojek yang sudah siap menjemput kami, namun
kami tidak berniat untuk ngojek. Kami segera menuju warung terdekat untuk
mengisi perut yang sudah kosong. Beberapa diantara kami segera mencari pos
perijinan untuk melapor. Tak disangka-sangka kami telah membuat kesalahan
sehingga mas-mas polisi hutan yang menjaga pos tersebut memarahi kami.
Sebelumnya kami tidak tahu bahwa kawasan pegunungan Argopuro ini termasuk
kawasan konservasi dan untuk memasuki wilayah ini, dengan tujuan apapun harus
membawa SIMAKSI (surat izin masuk kawasan konservasi) yang sebelumnya harus
diurus di BKSDA terdekat.
Setelah kenyang makan di warung,
muncul sosok angkutan umum menjemput kami. Sewaktu angkot yang kami tumpangi
akan meluncur menuju kota, kami berpapasan lagi dengan 3 pendaki dari semarang,
alhasil kami pulang bareng.
Sumpah,
perjalanan ini bikin kapok namun juga bikin ketagihan. Kapok karena jalurnya
yang panjang dan melelahkan membuat kakiku hampir membuat kakiku sampai
bengkak, dan ketagihan karena pemandangannya dan suasananya yang patut untuk
dirindukan.
Dengar
dengar dengar engkaulah Edelweiss ku sayang sayang
Manis
manis manis engkaulah Puncak Rengganis
Tapi
sayang sayang bumi juga butuh cinta
Bumi
juga butuh kasih sayang Kita
(Tamasya
band)
Lagu band indie dari Jember ini
mengiringi perjalanan kami. Tuntas sudah perjalanan ini kami lalui. Selamat
tinggal Argopuro, sampai bertemu lagi. Lain kali kami akan kembali untuk
melepas rindu di taman cantikmu.
*Tamat*
No comments:
Post a Comment