Friday, December 30, 2011

Mendaki Pegunungan Hyang (3) "Membelai Mistisnya Angin Lembah Cikasur"


            Setelah menikmati suasana indah di Danau Taman Hidup dan puncak Rengganis, tujuan berikutnya adalah lembah Cikasur. Cuaca tak mau berkompromi ketika kami akan memulai perjalanan dari Cisentor menuju Cikasur. Hujan tidak juga reda dari tengah malam hingga siang bolong. Alhasil, kami bangun kesiangan. Kami segera memasak, beres-beres, dan capcus. Pukul 1 siang, kami baru berangkat menuju Cikasur. Kami sempat bersisipan dengan 3 orang pendaki asal Semarang. Tiba-tiba cuaca cerah dan panas. Beruntung sekali ketiga pendaki tersebut, pasti mereka mendapat gambar yang lebih cerah di puncak. Kemarin kami hanya mendapat gambar puncak berlatar belakang kabut tebal dan mendungnya langit. Tapi kami tetap bersyukur sempat melihat langsung makam Dewi Rengganis yang terdapat di atas puncak.

Perjalanan dari Cisentor ke Cikasur

            Waktu yang kami perlukan untuk sampai di Cikasur dari Cisentor hanya 2,5 jam. Medan yang kami lalui pun sangat memanjakan mata. Meskipun sebelumnya kami melewati pemandangan monoton tanaman setinggi alang-alang yang tumbuh liar, akhirnya kami menemukan sabana yang sangat indah ditumbuhi berbuket-buket rumput liar yang tertata apik. Sekitar Pkl 15.30 WIB Kami sampai di hamparan savana dengan garis bekas landasan pesawat terbang Jepang yang masih bisa terlihat jelas. Inilah pemandangan di Cikasur. Rumput-rumput hijau bergoyang tertiup semilirnya angin pegunungan. Sangat menentramkan hati, disamping juga menegakkan bulu kuduk karena cerita misteri di lembah ini.
Berlatar belakang Lembah Cikasur

            Cikasur memang terkenal dengan kisah mistisnya. Maklum saja, disini tempat bekas tempat penyiksaan pekerja rodi oleh tentara Jepang. Konon katanya sering terdengar suara seperti aba-aba baris-berbaris dalam bahasa jawa. Kadang terdengar juga suara isak tangis yang menyayat dari bekas landasan tersebut. Untung saja kami tidak menjumpai yang beginian.
            Ketika yang lain sibuk memasang tenda di dekat sebuah pondokan, Aku, Janah, dan Nurma melarikan diri di sebuah sungai kecil tak jauh dari tempat kami memasang tenda. Kami bertiga sibuk menikmati keindahan sekitar sungai itu sambil berfoto-foto dan memanen selada air hingga dua kresek besar. Selada air ini nantinya akan kami masak menjadi tumis yang katanya lezat dan sebagian lagi akan kami bawa pulang sebagai oleh-oleh. Sungainya kecil dengan sepanjang jalur ditumbuhi selada air dan bunga-bunga yang indah. Aku sangat senang bisa meminum langsung air di sungai sejernih ini, airnya sangat segar dan bebas pencemaran. Mungkin jika seumur hidup tinggal disini, umurku akan panjang, dan riwayat kematianku bukan karena penyakit melainkan karena kedinginan. hahaha.
Sungai Cikasurpenuh selada air

            Kami memasak di dalam pondokan. Karena kompor kami sedikit bermasalah, akhirnya kami memasak di atas tumpukan batu. Angin yang lumayan kencang memaksa kami untuk mengeluarkan usaha dan kesabaran yang ekstra untuk mematangkan sekedar nasi, tumis, dan air hangat. Kepulan asap yang ditimbulkan dari api pembakaran membuat mata terasa pedih. Setelah masakan siap, kami segera menyantapnya di dalam tenda. Sambil berfoto ria.


Pondokan di Cikasur
            Esok hari kami sama-sama memasak di dalam pondokan bersama beberapa rombongan dari Jember. Kami berkenalan. Mereka berasal dari salah satu Sispala atau pecinta alamnya anak SMA di Jember. Puluhan dari mereka masih SMA, sedangkan beberapa diantaranya adalah alumni yang bertugas untuk membina adik-adiknya. Mereka bercerita banyak, dan diantaranya adalah cerita mistis. Mulai dari bertemu sosok perempuan di kamar mandi Baderan, dikejar orang tua tanda petik makhluk gaib, hingga dibangunkan suara nangka jatuh pada tengah malam. Aku sendiri percaya tidak percaya karena semalam kami baik-baik saja. Sama sekali tidak ada suara aneh yang mengganggu kami kecuali suara angin kencang yang membelai rumput dan tenda kami. Namun ada satu cerita misteri yang benar-benar kami alami di Cikasur. Pada saat asyik memasak sambil bercerita, tiba-tiba terdengar satu suara pukulan gong yang lumayan keras. Anehnya, kami semua mendengarnya. Pada awalnya aku tidak ngeh. Aku kira itu suara berasal dari desa di sekitar Cikasur, sampai akhirnya aku sadar, desa terdekat adalah Desa Baderan dan untuk mencapainya kami masih harus berjalan naik turun bukit selama 8 jam. Jadi tidak mungkin suara dari desa terdengar disini. Kami semua menyimpulkan bahwa itu suara makhluk gaib yang sedang ada gawe “mengadakan pesta”. Aku masih percaya dan tidak percaya, masih bertanya-tanya sampai sekarang walaupun tahu tak seorang pun dapat menjawabnya.

Perjalanan pulang “Cikasur menuju Baderan”

            Siang hari sekitar pkl 10.00 WIB kami segera melanjutkan perjalanan pulang menuju Baderan. Jalur yang kami lalui lumayan landai dan banyak turunnya, namun tak sedikit pula bukit yang memaksa kita untuk menaikinya kemudian menuruninya. Kakiku rasanya ingin copot dari pergelangannya. Untuk mencapai Cikasur dari Baderan sebenarnya bisa dengan hanya membayar seratus ribu, dan sebuah motor ojek siap mengantarkan kita. Tapi aku tidak bisa membayangkan apakah nanti jantungku akan baik-baik saja jika benar-benar naik ojek di jalur itu, jalan kaki saja aku sudah kepleset beberapa kali sampai pantatku terasa memar.
            Akhirnya kami sampai di Kecamatan Besuki, Desa Baderan sekitar menjelang magrip. Tak terasa sudah hampir 8 jam kami berjalan naik turun bukit. Aku langsung duduk di depan rumah warga, melepas lelah. Banyak tukang ojek yang sudah siap menjemput kami, namun kami tidak berniat untuk ngojek. Kami segera menuju warung terdekat untuk mengisi perut yang sudah kosong. Beberapa diantara kami segera mencari pos perijinan untuk melapor. Tak disangka-sangka kami telah membuat kesalahan sehingga mas-mas polisi hutan yang menjaga pos tersebut memarahi kami. Sebelumnya kami tidak tahu bahwa kawasan pegunungan Argopuro ini termasuk kawasan konservasi dan untuk memasuki wilayah ini, dengan tujuan apapun harus membawa SIMAKSI (surat izin masuk kawasan konservasi) yang sebelumnya harus diurus di BKSDA terdekat.
            Setelah kenyang makan di warung, muncul sosok angkutan umum menjemput kami. Sewaktu angkot yang kami tumpangi akan meluncur menuju kota, kami berpapasan lagi dengan 3 pendaki dari semarang, alhasil kami pulang bareng.
            Sumpah, perjalanan ini bikin kapok namun juga bikin ketagihan. Kapok karena jalurnya yang panjang dan melelahkan membuat kakiku hampir membuat kakiku sampai bengkak, dan ketagihan karena pemandangannya dan suasananya yang patut untuk dirindukan.

Dengar dengar dengar engkaulah Edelweiss ku sayang sayang
Manis manis manis engkaulah Puncak Rengganis
Tapi sayang sayang bumi juga butuh cinta
Bumi juga butuh kasih sayang Kita
(Tamasya band)

            Lagu band indie dari Jember ini mengiringi perjalanan kami. Tuntas sudah perjalanan ini kami lalui. Selamat tinggal Argopuro, sampai bertemu lagi. Lain kali kami akan kembali untuk melepas rindu di taman cantikmu.


*Tamat*

Mendaki Pegunungan Hyang (2) "Argopuro yang Mistis, Benarkah Dewi Rengganis Manis?"


            Kami kembali melanjutkan perjalanan di pegunungan Hyang. Pegunungan dengan jalur track terpanjang di Jawa dan dengan medan yang lumayan menyiksa bagi pendaki pemula. Kami berangkat dari Danau Taman Hidup, sebuah danau yang terkenal akan keindahannya di pegunungan ini menuju Cisentor, sebuah pondokan tempat persimpangan antara puncak dan Cikasur. Selama perjalanan dari Danau Taman Hidup hingga Cisentor, Kami dimanjakan oleh pemandangan hutan yang masih lebat. Pepohonan menjulang tinggi dengan ditumbuhi tumbuhan paku serta lumut-lumut hijau yang menambah kesan rimba. Gunung ini sangat sepi pengunjung. Selama perjalanan ke Cisentor, Kami sama sekali tak berpapasan dengan pendaki lain.

Savana
            Kami telah sukses melewati hutan cemara dan pondok sinyal meskipun dengan perjuangan yang ekstra ngos-ngosan. Kami sempat putus asa karena kelelahan dan kedinginan. Bukan Kami semua. Janah dan Rozak masih semangat melanjutkan perjalanan dengan langkah yang sangat kilat. Aku sampai heran dan bertanya-tanya, apa makanan Mereka berdua?. Mereka masih sangat kuat melangkahkan kaki disaat Kami hampir mati kedinginan. Seumur-umur mendaki, baru kali ini pula Aku kedinginan pada saat perjalanan. Sungguh ini adalah waktu yang tak tepat untuk mendaki gunung. Dinginnya udara mungkin bisa ditutupi jaket, tapi dinginnya air hujan tak ada yang bisa menghilangkannya kecuali pakaian basah yang Kita kenakan dibuang jauh-jauh. Sungguh baru kali ini Aku mendaki di musim hujan. Di Argopuro pula.

Hutan lumut

            Hari sudah semakin sore dan cahaya matahari yang redup tertutup mendung akan digantikan rembulan yang bisu tak mampu mengusir gelap. Kami baru sampai di Kali Kenik, sementara sebentar lagi langit akan menghitam. Janah tetap pada pendiriannya ingin melanjutkan perjalanan ke Cisentor, tak peduli gelap menghadang. “Setengah jam lagi juga sampai kok”, bujuknya. Kami yang sudah kelelahan dan takut tersesat dalam gelap serempak menolaknya. Ditambah lagi kondisi kaki teman Kami yang sudah agak pincang jalannya. Tak tega pula Aku melihatnya. Kami segera mendirikan tenda, memasak, makan, lalu tidur.

Bernarsis ria di kali kenik

            Kami berencana untuk keesokan harinya berangkat pagi-pagi tanpa memasak, dan akan memasak di Cisentor. Tapi rencana hanyalah rencana. Keesokan paginya benar saja Kami tidak memasak, Kami hanya makan snack dan roti seadanya. Tapi cuaca yang buruk, hujan yang tanpa henti, membuat Kami malas untuk keluar tenda dan melanjutkan perjalanan. Kami menunggu dan menunggu sampai hujan reda. Namun yang ditunggu tak kunjung reda. Akhirnya sekitar pukul 10 pagi Kami berangkat dari Kali Kenik menuju Cisentor. Seperti biasa, Janah dan Rozak memimpin di depan. Yang di belakang, Aku dengan malu-malu setiap lima menit sekali memegang perut sambil membayangkan makanan lezat. Huft, sungguh ini tak pantas ditiru, melanjutkan perjalanan tanpa mengisi energi dengan cukup.
            Gara-gara seharian nyasar di hari pertama sebelum sampai Danau Taman Hidup, rencana perjalanan Kami molor hampir satu hari. Bahkan beberapa dari Kami tidak memiliki semangat dan optimisme lagi untuk summit attact. “Sudahlah, tujuanmu mendaki untuk apa? puncak bukanlah tujuan satu-satunya. Kondisinya sekarang sudah jam berapa? Aku sudah tak menginginkan puncak lagi”. Salah satu dari Kami mengeluarkan pendapat yang di iyakan oleh beberapa yang lain. Aku sendiri, dari hati ingin tetap ke puncak dan memaki-maki diri sendiri karena tak tahu apakah suatu saat bisa ke tempat ini lagi untuk ke puncak. Aku sangat ingin tahu wajah Puncak Rengganis. Apakah semanis dalam lagu itu? “Manis manis manis engkaulah Puncak Rengganis”, begitulah liirik lagu berjudul “Edelweiss” yang sering dikumandangkan di komputer sekretariat. Sebuah lagu oleh-oleh dari Jember. Lagu ini tenar di kalangan pecinta alam di Jember. Anggota grub band yang menyanyikan lagu ini pun berasal dari alumni pecinta alam. Tamasya band.


Pondok Cisentor
            Sekitar pukul 1 siang Kami sampai di pondok Cisentor. Sebuah pondok satu-satunya telah ditempati para calon anggota Sispala yang sedang menjalani masa pendidikan. “Ayo, Siapa yang mau muncak, Aku mau muncak, yang muncak ayo muncak yang tidak nunggu disini, Kita makan cracker aja dulu, masaknya nanti saja setelah muncak”. Gelegar suara Janah penuh entah penuh amarah atau semangat. Meski pada awalnya sudah banyak yang patah semangat untuk summit attact, Akhirnya Kami semua menyerah juga. Kami tidak bisa membohongi diri, bahwa Kami ingin menikmati indahnya Puncak Rengganis. Sudah jauh-jauh sampai disini masak iya gak sampai puncak. Ditambah lagi kondisi yang memungkinkan karena hujan sudah reda.
            Kami semua akan melanjutkan perjalanan ke puncak. YEAAY!! Aku sangat senang, karena dari awal Aku sangat ingin melihat dengan mataku sendiri manisnya Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro. Walaupun sungguh sebenarnya Aku ingin makan nasi, tetapi karena dikejar waktu, perjalanan pulang pergi Cisentor-Puncak sekitar 5 jam, akhirnya Aku cukup menyantap cracker. Masak nasi plus lauk pauk membutuhkan waktu yang lumayan lama, bisa lebih dari satu jam. Kami tidak mau dalam keadaan masih dalam perjalanan setelah cahaya matahari terbenam. Satu jam adalah waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan dari Cisentor menuju ke Rawa Embik. Rawa Embik adalah mata air tertinggi di pegunungan ini. Sesampainya di Rawa Embik, Kami berhenti sebentar untuk mengambil air. Sangat segar.

Narsis diantara kabut

Jalan menuju puncak

            Kami melanjutkan perjalanan lagi tapi beberapa jam kemudian hujan turun. Rintik hujan diiringi kabut dingin tak menghentikan langkah Kami. Kami hanya berhenti beberapa menit untuk memakai jas hujan. Tak lama kemudian hujan reda. Segala rasa lelah terhapuskan oleh indahnya hamparan Edelweiss dan kabut tipis. Subhanallah, apakah syurga lebih indah dari ini?. Edelweiss dan efek kabut tipisnya memberikan kesan Kami sedang berada di dunia lain. Seperti inikah taman bermain Dewi Rengganis?

Terbentang hamparan Edelweiss

            Kami melanjutkan perjalanan sambil berfoto ria hingga akhirnya Kami sampai di pertigaan. Pertigaan ini adalah pemisah tiga jalur, jalur Puncak Rengganis, jalur Puncak Argopuro, dan jalur turun ke Cisentor. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Rengganis. Belum sampai puncaknya, hujan kembali turun. Kami tetap melangkah membelah hujan dengan jas hujan Kami. Alhasil Kami hujan-hujanan di Puncak. Meskipun hujan dan kabut agak menghalangi pandangan, namun Kami sepakat, Puncak Rengganis benar-benar manis. Benar-benar indah. Apakah Dewi Rengganis juga manis? Kami tak peduli lagi, karena Kami tahu, angin pun tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sebelum menaiki bebatuan di puncak rengganis

            Kami segera berfoto ria di puncak meskipun hujan membasahi baju yang Kami kenakan untuk berpose di depan kamera. Karena dingin dan kucuran air hujan yang semakin membuat pakaian Kami basah, akhirnya waktu 15 menit Kami cukupkan. Kami segera turun kembali menuju Cisentor. Kami tidak menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Argopuro karena takut kemalaman. Katanya untuk mencapai Puncak Argopuro harus melewati medan yang lebih curam. Akhirnya Kami hanya sempat melambaikan tangan untuk Puncak Argopuro. “Kami akan mampir kapan-kapan”. Janji Kami yang tak tahu akan Kami tepati atau tidak. Sebelum magrib Kami  telah sampai di Cisentor dan segera memasak serta mendirikan tenda. Sambil menggigil.

Puing kerajaan dewi rengganis


Berfoto di puncak rengganis

*Bersambung*

Mendaki Pegunungan Hyang (1) "Dimanakah Kau, Danau Taman Hidup?"


            Argopuro, salah satu gunung yang populer di kalangan pencinta alam maupun pendaki ini terletak di daerah perbatasan Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Situbondo. Gunung ini memiliki 2 puncak, yaitu Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro. Sebuah lagu dari band indie asal Jember, Tamasya band, berjudul “Edelweiss”  yang sering berkumandang di sekretariat tercinta membuatku semakin ingin menjajal gunung tersebut. Meskipun pada mulanya ada sedikit rasa takut oleh cerita mistis beberapa teman yang pernah mendaki gunung tersebut, akhirnya pada 24 Desember 2011 Aku beranikan diri untuk berangkat menapaki jalur tracking terpanjang di Jawa tersebut.

            Kami 8 mahasiswa, tepatnya 4 mahasiswa dan 4 mahasiswi mengisi minggu tenang untuk mencari kedamaian hati bersama lembutnya kabut dan dinginnya udara pegunungan Hyang. Gunung Argopuro memiliki dua jalur pendakian, yaitu Bremi dan Baderan. Kami memilih berangkat dari Bremi dan pulang melewati Baderan. Untuk sampai ke Bremi, dari Surabaya Kami naik bus dan turun di terminal Probolinggo, kemudian naik angkot hingga Garasi Akas. Sesampainya di Akas, Kami menunggu hingga jam 6 pagi, bus dari Akas  menuju Bremi hanya ada pukul 6 pagi dan 11 siang. Sesampainya di Bremi, Kami mengurus perijinan di Polres setempat kemudian capcus menuju Taman Hidup.
            Kami membentuk formasi. Janah sebagai satu-satunya yang pernah menapaki jalur Argopuro sebelumnya dipilih sebagai penunjuk arah. Rozak berada pada barisan paling depan mengikuti jalur track pada GPS. Saking banyaknya percabangan dan jalur tikus bagi penebang liar, jalur dari Bremi menuju Taman Hidup ini agaknya membingungkan bagi yang pertama kali menapakinya. Nampaknya pengalaman dari satu orang dan alat bantu GPS yang sengaja Kami bawa tidak menjadi jaminan bahwa Kami tidak akan tersesat.
            Di suatu persimpangan jalan Kami agak bingung membuat keputusan. Ikut jalur lurus namun lumayan menanjak, atau belok kanan dengan kontur yang agak melipir. Akhirnya Kami memutuskan untuk mengikuti jalur ke kanan dengan pertimbangan bahwa kedua jalur tersebut pada akhirnya ada pada satu titik pertemuan. Dengan kata lain, lewat jalur lurus maupun kanan akan sama saja. Kami terus mengikuti jalur yang ada hingga akhirnya Kami menemui jalan buntu. “Oh man, ternyata ini jalannya para penebang pohon”. Banyak kayu bekas tebangan yang berceceran. Kami tersesat.

Bekas jalan perambah kayu

            Dengan perasaan yang masih tenang, Kami mengikuti jalur track pada GPS. Meskipun agak mbrusuk-mbrusuk untuk beberapa lama, akhirnya Kami menemukan jalan. Jalan yang agak lebar dengan beberapa persimpangan. Kami dihadapkan dengan masalah baru. Ada jalur ke atas dan ke bawah, lalu jalur yang mana yang akan membawa Kami ke Danau Taman Hidup? Kami mengambil keputusan dengan memilih jalur ke bawah. Setengah jam sudah Kami berjalan. Jalur yang lumayan terjal, namun mudah Kami lalui karena jalan yang menurun. Sampai di bawah rupanya indah sekali. Semak-semak asing yang jarang Kami lihat, di belakangnya ada pemandangan kabut yang putih dan menebal. Mungkinkah Taman Hidup ada disitu? Namun agak aneh ketika Kami mulai mendengar lantunan musik dangdut. Apakah ini jalan menuju pedesaan? Pertanyaan itu tak terjawabkan, karena teriakan Mbak Matus membuyarkan langkah Kami. Menariknya kembali ke atas dengan jantung berdegup kencang dan nafas ngos-ngosan. Ya, Kami memutar arah setelah menyadari arah Kami salah.
            Fyuh, ternyata jalan menuju kembali ke atas lebih menguras tenaga dan memakan banyak waktu. Ada persimpangan ke kanan dan Kami mengikuti jalan itu, sesuai arah pada GPS. Setelah berjalan dan berjalan selama beberapa waktu Kami kembali menemui jalan buntu. Kami semua menghentikan langkah dan beristirahat di semak-semak yang agak datar. Sementara Mbak Matus dan Rozak mendaki lebih ke atas untuk mencari jalan. Mbak Matus seperti menemukan Danau Taman Hidup, tapi rupanya setelah lebih diselidiki yang dilihatnya hanyalah kabut tebal nan putih. Kami semua ingin kembali lagi ke jalan semula, sebelum belok kanan dari jalan persimpangan. Akan tetapi Mbak Matus yakin akan jalan yang dipilihnya. Ia terus mengikuti jalur track pada GPS. Tentu saja Kami tak mungkin meninggalkannya sendiri. Akhirnya Kami mengikutinya juga.
            Jalur yang Kami lewati lebih menjadi. Sebuah turunan yang lumayan curam dengan semak-semak liar yang tak bersahabat. Terpaksa Kami menuruninya walau harus pelorotan. Tempat ini seperti menuju ke jurang atau sejenisnya. Jujur, Aku agak takut. Takut tempat ini semakin menyesatkan, dan Kami semakin tak bisa keluar. Sore hari sudah menjumpai masa akhirnya. Sebentar lagi waktu magrib segera tiba, dan gelap tentunya akan menyapa. Kami memutuskan kembali ke atas. Kembali ke persimpangan semula membutuhkan waktu yang cukup lama, ditambah lagi suasana gelap akan menyusahkan Kami mencari jalur yang benar. Akhirnya Kami menemukan tempat yang lumayan datar. Meskipun tempat ini agak sempit, cukuplah untuk membuat tenda seadanya.
            Kami berangkat dari Polsek sekitar pukul 10 pagi, harusnya Kami sampai di Danau Taman Hidup sekitar pukul 3 sore. Tapi ini sudah beranjak magrib dan Kami masih tersesat di hutan belantara. Rencana untuk mendirikan camp di Danau Taman Hidup menjadi gagal. Aku tak peduli. Aku tak peduli lagi tentang Taman Hidup, tempat yang Aku impi-impikan itu. Aku lelah. Seumur-umur mendaki, baru kali ini Aku tersesat. Apalagi ini di pegunungan Argopuro, banyak berita orang hilang disini. Jujur, Aku sendiri sudah hampir menyerah, sedetik kemudian Aku menyesali keputusanku berangkat ke tempat ini, sedetik kemudian Aku ingin segera sampai ke kota tempat tinggalku. Perasaan penyesalan maupun ketakutan ini tentu saja kusimpan sendiri.
            Aku tak sendiri, Kami berdelapan, dan dari 8 kepala itu tentu cukup untuk berpikir mengenai langkah-langkah yang akan Kami ambil selanjutnya. Kadang Aku berpikir kekhawatiranku ini sangatlah berlebihan ketika melihat ternyata Mereka terlihat sukses membuang jauh rasa takut dan segera mencari solusi dari ini semua. Mereka sama sekali tidak ingin kembali pulang seperti yang dipikiranku. Mereka terlihat lebih kuat. Aku mencoba menguatkan diri, seperti Mereka. Taman Hidup, Cisentor, Puncak, Cikasur, dan Baderan tetap menjadi tujuan Kami.
            Para cowok tidur di tenda yang letaknya agak di bawah dataran tempat tenda para cewek berdiri. Kami berniat untuk rapat koordinasi malam itu, tapi ternyata para cowok sudah pada ngorok tanpa sempat memakan sepotong roti pun. Sungguh Aku bisa merasakan lelah yang dirasakan Mereka. Akhirnya sebelum tidur, Kami melempar sebungkus roti ke tenda cowok kemudian membuka GPS untuk melihat jalur Taman Hidup. Astagaaa! Ternyata jalur Taman Hidup yang selama ini Kami ikuti salah. Orang terdahulu yang menggunakan GPS ini salah mengeplot titik koordinat Danau Taman Hidup. Pantas saja Kami tersesat. Aaaahhh, Aku lega, paling tidak Aku tahu alasan Kami tersesat, rupanya karena kesalahan pengeplotan titik koordinat Taman Hidup pada GPS. Bukan karena kerusakan sistem pada GPS yang Kami bawa, ketidak terampilan Kami dalam menggunakan GPS, atau penyebab-penyabab mistis yang mungkin saja terjadi di Pegunungan angker ini.
            Keesokannya Kami bangun sangat pagi, tak pernah Aku bangun sepagi ini saat pendakian. Kami sempat mendengar teriakan manusia, beneran manusia. Sepertinya suara itu berasal dari Danau Taman Hidup. Kami membalas suara itu dengan berteriak kencang, berharap Mereka juga mendengar Kita. Tapi sia-sia. Kami segera melakukan pembagian tugas setelah sarapan dengan snack dan roti secukupnya. Janah dan Rozak berangkat terlebih dahulu untuk mencari jalur. Aku dan yang lain beres-beres tenda dan packing. Setelah selesai packing, sekitar pukul 7 pagi, Kami segera mengikuti jalur yang dilewati Janah dan Rozak. Mereka daritadi sudah berteriak-teriak memberi isyarat pada Kami untuk bergegas mengikutinya. Mereka memasang streamline berupa pita warna biru pada beberapa pohon agar Kami tidak kehilangan jejak.
            Akhirnyaa Kami menemukan Danau Taman Hidup sekitar pkul 8.30 pagi. Benar dugaan Kami, Taman Hidup tak jauh dari lokasi Kami bermalam. Sayang sekali Kami tidak bisa bermalam di danau ini. Tapi Aku sudah cukup lega karena telah keluar dari zona sesat. Kami bergegas menuju jembatan yang kayunya sudah lapuk dan berujungkan gubuk tua di tengah danau. Di gubuk tersebut telah ramai anak-anak kecil usia SMP sedang memancing. Mereka penduduk lokal dan telah terbiasa bermain disini.


Menemukan Danau Taman Hidup

            Setelah puas berfoto, Kami bergotong royong memasak nasi, soto, dan telur dadar. Soto berkuah kuning yang hanya terasa pahitnya kunir karena ada bumbu yang kurang. Meskipun rasanya agak aneh, Kami tetap lahap memakannya. Mungkin ini karena perut yang keroncongan setelah energi terkuras habis akibat tersesat seharian. Sekitar pukul sebelas siang, Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan Kami selanjutnya adalah Cisentor. Sebenarnya Aku agak takut. Takut kemungkinan nyasar kembali. Tapi karena Mereka yakin, Akhirnya Aku meyakinkan diri. Cukup kemarin saja Kami tersesat di pegunungan hyang ini. Tunggu Kami di Puncakmu Dewi Rengganis!


Bersambung*

Tuesday, October 11, 2011

Cerita kepada Malam

Aku ingin bercerita,

Ceritakan kisah kepada malam yang kian larut..

Dialah yang setiap hari membawaku terlelap dalam mimpi indah..

Malam ini terasa hening, sehening prakara yg tak kunjung usai ini..

Dan aku sedang berfikir,

Memikirkan sesuatu yg tak pernah kutemui jalan keluarnya...

Aku senang, namun Aku juga sedih..

Aku sedih, namun Aku juga senang..

- Oktober, 2011

Friday, June 3, 2011

Kala Bimbang

Terlintas pertanyaan dalam diri
Haruskah diri ini diam dalam kedamaian
Ataukah memberontak dalam terjangan badai kehidupan
Menapis segala keterbatasan
Dan masih pantaskan aku untuk hidup dalam kebinasaan?

Sedang disatu pihak mengatasnamakan 'semangat'
Dengan segala keagungan terus membangkitkan gairahku
Sedang yang lain mengatasnamakan 'keputusasaan'
Dengan segala amarah terus mengombangambingku

Sementara aku hanya diam dipersimpangan
Menunggu waktu memutuskan, Jalan mana yang akan kupilih?

(Surabaya, 2011)

Sunday, April 10, 2011

Berkenalan dengan Batuan Cadas di Lembah Kera

Lembah Kera terletak di Dusun Dempok, Gampingan Kab. Malang, Jawa Timur. Tempat ini merupakan tempat favorit bagi pemanjat untuk menguji keahliannya dalam menaklukkan ketinggian tebing. Aku pun tertarik untuk mencobanya, berkenalan dengan batuan cadas di tebing itu setelah sebelumnya Aku sama sekali belum pernah merasakan pemanjatan di tebing. Biasanya Aku hanya memanjat dinding di kampusku.
  
Perjalanan menuju Lembah Kera Aku berangkat bersama teman-teman seperjuanganku, Kami akan mengukur kemampuan masing-masing di tebing itu. Untuk mencapai tebing, Kami harus berjalan sekitar setengah jam lebih dari sebuah gang kecil di pedesaan. Kami berangkat dengan jalan kaki, sementara motor dititipkan di pos pemanjat.
    
Persiapan dan Pemanasan sebelum memanjat tebing Sesampainya di lokasi pemanjatan, kami memasang tenda untuk bermalam dan meletakkan barang bawaan. Kami segera bersiap-siap dan melakukan pemanasan untuk melemaskan otot-otot. Ini baru pertama kalinya Aku akan memanjat tebing.

Salah satu jalur pemanjatan

Di Lembah Kera ini terdapat beberapa jalur pemanjatan berdasarkan tingkat kesulitannya. Jalur ini dibuat oleh FPTI JATIM, sebuah forum panjat se-Indonesia. Jalur-jalur itu diberi nama yang agak menggelitik bagiku. Berikut beberapa nama jalur panjat di Lembah Kera, Pipa, Blood Stone, Gong Setan, No Cry, No Women, No Marcy, dll.
Mencengkeram bebatuan di tebing Lembah Kera

Setelah pemanasan, kami mulai memanjat secara bergantian. Ada Mas Ijank dan Mas Brainca yang sudah mahir dalam hal pemanjatan diantara kami. Ada juga Febri, dia pemula namun lumayan mahir dan bisa menaklukkan tebing itu. Ana Yuni dan Sari, dia cukup kuat dan mampu mengangkat badannya hingga ketinggian beberapa meter.

Namun Aku dan teman-teman yang lain, sama sekali tidak dapat mengangkat badan satu meter pun. Aku sudah siap dengan segala pengaman lalu berseru "Belay ON". "ON Belay!!" Mas Ijank menjawabku pertanda ia sudah siap mengendalikan tali pengamanku, pertanda Aku bisa segera memanjat. Namun kakiku tetap menginjak tanah, itu berlanjut selama beberapa menit. Aku menyerah. Sungguh berat rasanya.

Dibandingkan dengan tebing dengan batu-batu cadasnya, ternyata panjat dinding dengan poinpoin pengganti batu cadas tidak ada apa-apanya. Alhasil, Aku hanya dapat memanjat jalur yang dinamai "Ibu-ibu PKK" karena tingkat kesulitannya yang rendah dan mudah dipanjat bahkan tanpa pengaman :).

Tapi kalian tidak usah takut. Karena banyak teman-teman pemanjat lain yang super canggih mampu memanjat hingga top. Aku memang payah, Aku tak ahli dalam bidang panjat tebing, namun Aku pasti ahli dibidang yang lain :).

Sedang bilay pemanjatan

Monday, February 28, 2011

Menyusuri Pantai Menapaki Bukit, Meru Betiri


            Hal yang biasa dilakukan oleh para pecinta alam. Namun ini pertamakalinya bagiku, juga bagi kami. Menyusuri pantai mulai dari Pantai Bandealit-Jember hingga Pantai Sukamade-Banyuwangi. Butuh waktu minimal tiga hari untuk menempuh perjalanan itu. Selama tiga hari itu kami terus melangkah, menyusuri pantai, menapaki bukit di Taman Nasional Meru Betiri.

Bandealit

            Hari pertama, sebuah truk mengantarkan kami melewati jalan makadam (berbatu) yang cukup mengocok perut sampai mual. Kami menikmati guncangan truk dengan berpegangan tiang-tiang penyangga ataupun sisi-sisi truk agar tidak terjatuh. Sungguh pemandangan di depan mata adalah pohon-pohon yang masih rindang, kokoh, dengan ukuran begitu besar pertanda umur pohon ini sudah tua. Sesekali Kami melihat sekelompok Budeng (Trachypithecus auratus) dan Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) bergelantungan di atas pohon.

Menyeberangi sungai

            Kami terdiri dari 29 orang anggota PLH Siklus ITS, sebuah organisasi pencinta lingkungan hidup di kampus ITS Surabaya. Hari pertama tiba di Bandealit, kami belajar melakukan analisis vegetasi, bird watching (pengamatan burung), dan analisis sosial masyarakat. Pantai Bandealit ombaknya bergulung-gulung sangat besar dan tinggi, ini karena pantai-pantai di sepanjang Taman Nasional Meru Betiri termasuk wilayah pantai selatan yang terkenal dengan ombaknya yang tinggi.
            Kami bersiap untuk menuju pantai selanjutnya, Pantai Meru Barat dan Pantai Meru Timur. Karena lokasi setiap pantai dibatasi oleh tebing dan bukit, maka untuk dapat menginjakkan kaki di pantai-pantai itu kami harus mendaki bukit terlebih dahulu. Perjalanan lumayan melelahkan, ditambah lagi sebagian besar kami berjenis kelamin perempuan. Meskipun ada juga perempuan jadi-jadian alias tomboy abis, hehe. Sebelumnya, sempat ada ketakutan dalam diriku jika saat menembus bukit dan hutan nanti kami akan menemui hewan buas. Hal ini mungkin saja terjadi karena di Taman Nasional ini masih terdapat berbagai populasi fauna langka yang dlindungi.
            Beberapa diantara kami sempat ngedrop. Akibatnya, perjalanan pun berlangsung sangat lama. Hingga hari semakin gelap, kami baru nyampai di Pantai Meru Barat. Daerah ini terlalu sempit untuk mendirikan tenda sehingga kami menuju Pantai Meru Timur. Kami harus melewati pantai yang jaraknya agak jauh. Kami agak panik, sebentar lagi waktunya pasang, dan ombak semakin lama semakin mendekat. Beberapa kali kami terjatuh karena gulungan ombak. Suasana tegang, kami terus mempercepat langkah kami dan mencari jalan menjauhi air laut. Kami semua sangat khawatir dan terus berdo’a agar kami diberi keselamatan sampai akhir perjalanan.
Pantai Meru Timur

            Satu jam kemudian, akhirnya sampai juga kami di Pantai Meru Timur. Sebagian langsung tertidur beralaskan pasir pantai saking kelelahannya, sementara yang lain memasak dan memasang tenda. Udara disini jauh dari yang aku bayangkan. Sama sekali tidak dingin. Malam itu aku menghabiskan waktu dengan tidur di atas matras beratapkan langit yang sedang menampakkan bulannya. Tenda-tenda yang kami bawa dan kami pasang nyaris kosong karena banyak yang memilih untuk tidur di luar tenda.

Menyeberangi muara menuju bukit

            Setelah puas beristirahat semalaman kami segera melanjutkan perjalanan menuju Teluk Permisan. Kembali mendaki, kembali melewati bukit yang curam atau menanjak. Ketika sore mulai datang, Teluk Permisan Barat mulai terlihat, kami senang bukan kepayang. Tapi setelah tahu bahwa kami harus mendaki melewati satu bukit lagi untuk sampai dan mendirikan tenda di Teluk Permisan Timur, kami langsung lemas. Mau tak mau kami mendaki lagi, menaiki bukit kemudian menuruninya, melewati sungai dan pantai, akhirnya sampai juga kami bermalam disana. Beberapa diantara kami sempat terkena gigitan tawon saat memegang pohon menuruni bukit.

Teluk Permisan


            Hari terakhir kami melanjutkan perjalanan menuju pantai terakhir, Pantai Sukamade. Kembali lagi mendaki bukit, bukit yang cukup menanjak, dengan medan yang licin karena hujan. Berkali-kali kami terpeleset namun bangun kembali dengan beberapa noda di pakaian. Selama perjalanan, kami tidak menemukan satu ekor pun binatang buas atau binatang langka. Namun kami berhasil menemukan jejak kaki yang diperkirakan adalah jejak kaki Babi hutan.

                                                                                       Pantai Sukamade

            Akhirnya sampai di Pantai Sukamade. Pantai ini paling luas diantara pantai-pantai lain di Taman Nasional Meru Betiri. Mungkin ini salah satu alasan para Penyu suka bertelur di pasirnya.

Konservasi penyu


            Sewaktu istirahat di Pantai Sukamade sambil menunggu jemputan truk, aku dan teman-teman sempat berjalan-jalan di kebun sekitar, melihat merak, memanen buah cokelat dan buah kelapa dari pohonnya, dan juga memanen pakis untuk di masak. Saat malam tiba, kami juga sempat melihat penyu bertelur ditemani petugas TNMB. Menyenangkan.


Memanen (baca:buah kelapa

            Aku  dan Aun juga sempat berkejar-kejaran dengan kucing milik anak kecil (aku lupa namanya) yang tinggal di Sukamade. Bukan karena kami menikmati kegiatan itu, tapi karena kami takut kucing. Hal ini menjadi hiburan bagi anak kecil itu dan teman-teman kami. Anak kecil itu di dekat penangkaran penyu bersama ibunya. Disana hanya ada dua rumah dan beberapa kamar mandi, sedangkan beberapa anak kecil lain dapat ditemui di perkebunan yang lokasinya agak jauh. Untuk penerangan sudah digunakan tata surya. Tidak ada anak kecil lain yang tinggal disini, sehingga dia lebih sering bermain dengan kucing dan monyet-monyet di Sukamade yang suka mengambil makanan pengunjung.