Sunday, November 23, 2014

Pengalaman Sidak bersama Ecoton


          Beberapa minggu yang lalu, sekitar akhir september, aku dan teman-teman mengikuti pelatihan pembuatan video dokumenter yang diadakan Ecoton di kantornya, Wiringanom Gresik. Memang hanya 2 hari disana, namun banyak hal yang kami dapatkan selain mengenai bagaimana cara pembuatan video mulai dari penulisan skenario hingga editing menggunakan program Pinnacle Studio 15. 


       Kami diajak melihat tempat-tempat pembuangan limbah di sungai, antara lain limbah kertas. Kami juga diajak menemui nelayan yang selama beberapa hari ini menyusuri sungai untuk mencari ikan. Ecoton memang LSM yang kegiatannya fokus pada pelestarian sungai Brantas. 

Limbah pabrik kertas

            Setelah menemui nelayan pada malam hari kami melewati limbah pembuangan pabrik kertas dimana perusahaan tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai perusahan biru atau sudah melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan. Tetapi pada saat itu limbah yang dibuang ke sungai amat parah dan berwarna putih pekat. Kami mengikuti Mas Prigi, pendiri ecoton, untuk protes ke perusahaan itu. Kami menunggu dan duduk di depan perusahaan tersebut hingga tengah malam karena manager IPAL perusahaan tersebut tidak menghiraukan protes kami.  Kami juga mengirim SMS dan menelepon radio Suara Surabaya hingga menyebabkan bapak polisi datang ke tempat kami. Aku tidak tahu kelanjutannya karena setelah itu pelatihan dilanjutkan minggu depannya tetapi aku tidak datang.

Protes ke pabrik kertas

         Siang hari yang terik aku dan teman-teman sempat ngobrol dengan warga di sekitaran sungai di Mojokerto. Bapak tersebut pensiunan pegawai negeri yang dulu suka memancing ikan sebagai penghasilan tambahan. Bapak tersebut mengeluhkan bahwa sungai sekarang tak seramah dulu. Dulu tiap harinya bisa mendapat banyak ikan untuk dijual. Tapi sekarang mencari ikan susah, sungai juga sudah menjadi tempat sampah. Ditambah lagi berdirinya perusahaan tepung menyebabkan limbah di sungai dan juga susahnya pasokan air tanah untuk warga.
       Saat ini di Ecoton sendiri hanya terdapat sedikit orang yang usianya sudah 25 tahun ke atas. Beberapa kali Pak Prigi menawari sikluser untuk melanjutkan kegiatannya, kegiatan yang riil terjadi di Surabaya. Ecoton memang membutuhkan generasi-generasi muda yang bisa melanjutkan perjuangannya. Semoga Ecoton menemukan generasi mudanya atau semoga banyak generasi muda yang berjiwa pahlawan dan pemberani seperti Ecoton. Dan juga semoga adik-adikku, adik-adik kami, para sikluser menemukan jati dirinya dan menemukan hal-hal yang riil yang bisa mereka lakukan untuk tanah air ini khususnya Surabaya.

Memang keluar dari rutinitas itu menyenangkan dan seringkali mendatangkan manfaaat dan wawasan baru. Happy  to live your life guys....


Menjaga Keabadian Edelweiss


            Edelweis bunga abadi itu akan tetap indah jika berada di alam bebas, di gunung-gunung seluruh penjuru dunia. Dan kita semua adalah pemiliknya, pemilik edelweis yang tumbuh liar di alam bebas. Memiliki bukan berarti bisa semenanya memetik dan membawanya pulang. Memiliki berarti harus mampu menjaganya sepenuh hati seperti seorang Ibu yang menjaga anaknya.
            Dulu sewaktu pendakian pertamaku telah sampai di Pondokan Arjuno, kami melihat sebuket edelweis yang telah tersusun apik di dalam vas bunga terbuat dari belerang. Bunga cantik itu katanya abadi, dan sudah lama aku ingin memilikinya. Para penambang belerang itu sengaja menjualnya sebagai tambahan penghasilan mereka. Bunga itu dijual seharga duapuluh ribu rupiah. Betapa sumringah aku melihatnya.
      'Sebentar lagi mimpiku untuk memiliki bunga itu akan terwujud' aku berkata dalam hati. Ingin aku membelinya, namun perkataan seseorang mengurungkan niatku. Dia adalah Mas Iteng, seniorku di PLH SIKLUS ITS angkatan Pra Diklat. Beliau berkata "Jika kalian membeli edelweis, maka para penjual itu akan senang dan memetik lebih banyak edelweis untuk dijual. Dan jika itu terjadi maka kalian adalah salah satu orang penyebab kepunahan bunga edelweis yang sekarang pun sudah semakin jarang ditemui. Lalu masih pantaskah kalian menyebut diri sebagai pencinta lingkungan hidup?". Betapa perkataannya membuat kami bersembilan tertohok.
        Musnah sudah harapanku. Cinta memang tak harus selalu bersama. Aku rela tak bersamamu asal kamu bahagia di puncak-puncak pegunungan itu, batinku.
     Edelweis lambang keabadian, namun bagaimana jika suatu saat ia punah? Masihkah pantas ia disebut abadi? Kitalah yang harus menjaga keabadian Edelweis dengan tidak memetiknya. Sampai saat ini keinginanku untuk bisa membawa pulang edelweis itu telah sirna. Biarlah aku menikmati keindahannya saat di puncak saja agar kumbang-kumbang itu pula tak kehilangan madunya.

Puncak Pertamaku, Arjuna


            Juli 2009 adalah pertama kalinya aku menikmati dinginnya udara pada ketinggian diatas 3000 mdpl. Gunung Arjuna, Gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa ini memiliki ketinggian 3.339 mdpl. Perasaan senang sekaligus takut menghinggapi jiwaku, namun rasa takut sekejap hilang karena aku bersama-sama dengan teman sekaligus dulur-dulur dari berbagai kota yang dipertemukan di PLH SIKLUS ITS. Rasa lelah tentu saja sering menghantui jiwa maupun raga sehingga butuh fisik sekaligus mental yang kuat untuk dapat bertahan dan terus melangkah.

            Kami mendaki malam hari lewat jalur Tretes dan ngecamp di Kop-kopan sebelum esok paginya berangkat ke Pondokan. Perjalanan melewati Pet Bocor dimana di tempat tersebut terdapat pos dan pipa air minum. Sekitar pukul 20.00 WIB kita sampai di Kop-kopan. Di kop-kopan ini kita dapat menjumpai warung kecil yang menjual teh hangat dan mie, serta terdapat pula semacam tempat pembuangan air besar yang masih sangat tradisional. Beberapa tenda milik pendaki lain telah tersusun rata di tempat yang tidak begitu luas, dan kami mulai mencari tempat untuk memasang tenda. Betapa rasa dingin menusuk tubuh seketika karena aktifitas mendaki sementara dihentikan.

Pondokan penambang belerang

            Pertama kalinya aku merasa sangat kedinginan yaitu saat beberapa menit sampai di Pondokan. Ini pertama kalinya aku merasakan belaian angin gunung yang begitu brrr.... dingin. Di Pondokan ini banyak rumah-rumah kecil yang terbuat dari gubuk yang merupakan tempat tinggal penambang belerang. Pondokan ini merupakan persimpangan jalan menuju Puncak Arjuno dan Puncak Welirang.  Di daerah ini juga terdapat sumber air serta tempat untuk buang air.

            Di pondokan kami memasak soto ayam. Emang niat banget. Tetapi sayang disayang, soto ayamnya tumpah separo saat mau diangkat dari kompor.

            Malam harinya si Indi dan si Meita yang lebih berpengalaman naik gunung bercerita macam-macam mulai mistisnya gunung sampai pasar setan yang ada di jalanan menuju puncak Arjuno. Pasar setan yaitu semacam kampung setan yang mistis dan menjual berbagai macam barang dengan harga murah. Konon katanya hanya orang tertentu yang dapat melihatnya. Aku pun tak tahu apakah hal ini benar atau cuma mitos belaka.

            Sebelum tidur kami bersepakat esok hari berangkat pkl 04.00 WIB. Bayangan tentang pasar setan membuatku merinding. Aku jadi malas bangun tidur cepat-cepat. Aku berdo’a supaya besok gak jadi berangkat pkl 04.00 WIB melainkan berangkat bareng munculnya matahari. Biar enggak ketemu pasar setan, pikirku.

            Benar saja, kami berangkat pkl 07.00 WIB. Sebenarnya perjalanan dari pondokan ke puncak bisa ditempuh cukup dengan 4 jam. Tapi karena kebanyakan dari kami adalah pemula, kami baru sampai puncak pada pkl 14.00 WIB.

Lembah Kidang

            Selama perjalanan kami melewati Lembah Kidang yang merupakan padang rumput luas. Konon banyak terdapat kijang di lembah ini, namun kami tidak melihatnya. Selama perjalanan di Arjuno kami hanya melihat burung Anis dan ayam hutan.

            Di Lembah Kidang ini terdapat sumber air yang merupakan sumber air terakhir selama perjalanan ke puncak. Jadi setelah ini, kami benar-benar harus menghemat air dan memperkirakan jumlah air yang akan dibawa. Setelah melewati Lembah Kidang, kami melewati daerah yang mirip dengan lembah kidang namun terdapat banyak bebatuan. Tempat inilah yang disebut pasar setan.

Dalam perjalanan menuju Puncak Arjuno, kami bertemu dengan beberapa bule yang turun maupun naik ke puncak. Diantaranya bule diantar beberapa porter dan guide yang tampilan rambutnya gondrong dan gimbal. Kami juga bersisipan dengan mahasiswa Geomatika UI yang tergabung dalam organisasi GMC (Geographical Mountaineering Club).

            Salah satu teman kami sibuk memetik bunga yang bisa dijangkau disekitar jalan yang kami lalui meskipun dalam jumlah sedikit. Namun saat mendengar ketua GMC menasihati salah satu anggotanya saat memungut bunga edelweiss yang udah mati, kami merasa tertohok. Kami ini Pencinta Lingkungan Hidup bro, masak kalah sama GMC. Ah nggak ada menang atau kalah ding, kami semua pendaki harus menjaga kelestarian alam. Setelah kejadian itu, temanku mulai sadar dan membuang kembali bunga-bunga itu, syukurlah. Aku memakluminya karena kami pemula. Ini juga pertama kalinya aku benar-benar memaknai kode etik pecinta alam. Hampir semua orang yang pernah berkegiatan di alam bebas pasti tau. Dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak, dilarang mengambil sesuatu kecuali foto, dan dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu.

            Rombongan GMC juga baik hati. Mereka membagi minuman dan kue untuk kami. Saat kehausan di jalan, minuman itu sangat membantu. Ah sesama pendaki emang sudah seharusnya saling membantu. Kami gak jadi KO karena depresi, eh dehidrasi. Saat itu kami tidak membawa perbekalan dengan rata. Kami hanya membawa 2 tas ransel berisi makanan, minuman, headlamp, dan jas hujan. Kami yang muncak ada 9 orang dan terkadang kami tidak berjalan bareng, ada yang jauh tertinggal dan ada yang jauh di depan. Ini kesalahan besar. Seharusnya masing-masing dari kami membawa satu tas kecil berisi makanan, minuman, headlamp dan jas hujan untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya tersesat atau ketinggalan dari rombongan. Gak seru kan kalo kita tertinggal jauh dari teman yang membawa makanan dan minuman dan kita tidak membawa perbekalan apa-apa, bisa lemes kita. Meita pun lemes dan muntah2, akhirnya dia diantar mas Iteng turun ke Pondokan.

            Mas Iteng adalah yang paling dituakan disini. Dialah yang menasehati kami macam-macam. Mulai cara menata perbekalan dan bahan-bahan makanan agar rapi dan tidak busuk, juga cara berhemat air dan tissue. Benar-benar ramah lingkungan dah. Ada sedikit rasa bersalah karena sebelumnya aku sering membuang sampah sembarangan, boros memakai air, listrik, bla bla bla.


Puncak Arjuna 2.600 mdpl

Hwaaaa, pertama kalinya aku merasakan puncak, menghirup udara paling segar. Aku bagai berada di negeri di atas awan J. Terbayar sudah segala rasa lelah yang sedari tadi menghinggapi. Betapa gunung adalah tempat dimana kita dapat menemukan diri kita sendiri, melatih kita untuk bersabar, mendekatkan pada alam dan penciptanya.

Puncak Arjuno merupakan puncak trianggulasi dimana terdapat tiga puncak dan satu diantaranya puncak paling tinggi yang merupakan pncak sebenarnya. Puncak Arjuno terdiri dari bebatuan dan vegetasi tanaman mulai hilang. Saat di Puncak kita harus berhati-hati karena di tepi bebatuan merupakan tebing dan kita bisa terjatuh bila terlalu menepi.

            Turun dari puncak, kami sempat nyasar. Mana hari udah gelap. Untungnya mas Patkai yang daritadi bertugas menjaga tenda menyusul kami.

            Keesokan harinya kami mendaki lagi ke puncak Welirang. Tapi aku gak ikut. Kemarin saja aku sudah ngos-ngosan. Udah gak kuat lagi aku, aku menyerah. Akhirnya aku, mas Iteng dan Meita hanya masak-masak saja di Pondokan. Kata Meita, di Pondokan ini sering ada orang yang nyuri makanan. Benar saja, ada orang minta makanan, aku kasih roti tawar satu bungkus eh gak cuma dimakan secukupnya malah di makan semua. Kemarin juga sisa ayam rebus yang belum diiris dan dibuat soto ilang gak berbekas. Gak boleh berburuk sangka tapi harus tetap waspada, uyeea.

            Masih banyak pendaki yang meninggalkan sampah di berbagai persinggahan mereka seperti di Kop-kopan, Pondokan, maupun dalam perjalanan mereka, namun tak sedikit pula yang membawa sampahnya kembali saat turun gunung. Tentunya kita dapat mengerti dan melakukan tindakan mana yang baik. Siapa yang akan membersihkan sampah kita nantinya jika kita meninggalkan sampah begitu saja di gunung?.


            Pas mau turun terjadi hal konyol. Tempat tenda kami mulai terkena panas matahari  sehingga kami pindah ke tempat yang agak ke atas. Si Cipto malah iseng bilang pada Putri dan mbak Erfina bahwa kami sudah turun meninggalkan mereka. Eh mereka beneran turun. Akhirnya Patkay dan Cipto harus membawa dua tas mereka. Hadeehhhh, mereka kena aja dibohongi. Ada-ada saja.