Wednesday, May 23, 2012

Wanita dalam Lini Masa

Saya adalah wanita, Ibu saya juga seorang wanita, disekitar saya tentu juga banyak sekali kaum wanita. Banyak pria memuja wanita karena kecantikannya, namun tak sedikit pula pria yang sakit hati karena ulah wanita. Mungkin itu sebab ada lagu berlirik “wanita racun dunia”. Saya tidak ingin membahas ini, toh tak sedikit pula wanita yang sakit hati karena pria. Ini soal hati, saya tidak ingin ikut campur. Kalau soal negara, saya harus ikut campur, karena saya adalah bagian dari negara yang memiliki andil dalam maju tidaknya negara saya, Indonesia tercinta.

Suatu pepatah menyebutkan bahwa wanita adalah tiang negara, apabila wanita itu baik maka negara akan baik, dan apabila wanita itu rusak maka negara akan rusak pula. Saya sempat bertanya-tanya apa arti pepatah tersebut. Apakah benar wanita memegang peranan penting atas maju tidaknya suatu negara hingga disebut-sebut sebagai tiang negara?. Bahkan Ir Soekarno dalam Suara Indonesia Muda, 1928, mengatakan, “Ibu-ibu besar atau kecil, ibu-ibu sadar atau lalai, itulah buat sebagian berisi djawabnya soal Indonesia akan luhur atau Indonesia akan hancur.” Ini berarti wanita memang spesial, karena setiap wanita akan menjadi ibu yang melahirkan dan membesarkan anak bangsa.

Seperti era yang berubah, wanita pun banyak mengalami perubahan dalam setiap lini masanya. Jika dulu wanita hanya identik dengan dapur, maka sejak era R.A Kartini wanita mulai dikenalkan dengan dunia pendidikan. Berbagai profesi menjanjikan juga mulai marak untuk kaum wanita ini, mulai dari dokter, polwan, guru hingga pramugari. Prestasi membanggakan mulai ditorehkan oleh atlet-atlet wanita, sudah tidak mengherankan pula jika seorang wanita terpilih menjadi pemimpin. Namun dibalik fakta-fakta menggembirakan itu juga terdapat fakta menyedihkan. Banyak wanita yang memiliki pekerjaan tak layak karena faktor ekonomi yang mendesak. Tukang sampah, tukang pijit, sopir, bahkan pelacur pun dilakoninya. Diantara ribuan pekerjaan yang diusung seorang wanita, sebenarnya hanya satu lah yang menjadi kewajibannya, menjadi pendidik bagi anak-anaknya.

Ironisnya, saya melihat kenyataan yang cukup miris dikalangan wanita Indonesia terutama di jaman yang katanya modern. Di jaman yang mulai berbau kebaratan dan beraroma teknologi canggih. Ibu-ibu yang harusnya merawat dan mendidik anaknya mulai disibukkan dengan hal lain sehingga kewajiban utamanya sebagai seorang ibu perlahan terlalaikan. Ibu-ibu dari kalangan menengah rela untuk melewatkan jam yang seharusnya digunakan untuk menemani anak belajar demi menonton tayangan sinetron rendah mutu di depan TV. Bahkan tak jarang pula sang anak yang menemani ibunya untuk menonton sinetron. Hal ini tentu berpengaruh negatif pada pola pikir sang anak. Ibu-ibu dari kalangan elit terlalu berlebihan dalam memuja karir hingga tanpa ia sadari ia pun lupa pada tugas utamanya sebagai seorang ibu. Pembantu atau yang sering disebut baby sister yang ia percaya pun belum tentu bisa mendidik anak sesuai dengan harapan sang ibu. Rasa kesepian dan kurangnya kasih sayang pada sang anak ini tentu berpengaruh pada mentalnya. Ditambah penjagaan dan pengawasan yang kurang pada sang anak bisa memungkinkan sang anak terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik.

Faktanya, saat ini banyak sekali kriminalitas dan krisis moralitas dilakukan oleh masyarakat kita. Perlu tindakan tegas dari pemerintah maupun pendidik terutama orang tua dalam hal ini “ibu”. Meskipun kini telah ada program 9 tahun wajib belajar di sekolah, bukan berarti peran ibu sebagai pendidik yang utama harus pudar. Meskipun kini telah marak digembor-gemborkan emansipasi wanita yang menuntut kesetaraan gender, bukan berarti peran wanita sebagai ibu boleh ditinggalkan. Bahkan surat R.A Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 menyatakan, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” Jadi untuk kaum wanita, carilah ilmu hingga ke negeri Cina untuk kemudian pulanglah ke negeri dimana anakmu membutuhkan asuhan dan kasih sayangmu.

Akhir kata, saya akan mengacungkan kedua jempol saya untuk para wanita hebat, wanita-wanita yang mampu meraih impiannya tanpa menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita, wanita-wanita yang sanggup menjalani karirnya tanpa meninggalkan perannya sebagai istri dan ibu. Namun bukan berarti seorang wanita yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga saja adalah biasa. Setiap ibu adalah luar biasa. Setiap ibu telah banyak melakukan pengorbanan demi anaknya, selama masih dikandungan hingga menjadi seorang anak yang sukses. Maka baru setelah menyadari ini saya begitu menghormati para ibu rumah tangga yang berhasil mengantar anak-anaknya menjadi generasi hebat untuk keluhuran bangsanya. Mungkin itulah mengapa surga ada di telapak kaki ibu. Dan suatu saat saya akan menjadi ibu. Seorang ibu yang memiliki peran utama yang sama di setiap lini masanya. Melahirkan, menjaga, merawat, dan mendidik anak-anaknya.