Saturday, July 24, 2010

Berbagi dalam Kebersamaan, Bandealit


            Pertama kali aku mengunjungi Pantai Bandealit adalah ketika sedang mengikuti Latihan Gabungan Konservasi Organisasi Pecinta Alam Se-JATIM tahun 2010 lalu. Latihan Gabungan ini sendiri dilaksanakan selama lima hari, tiga hari di UNEJ untuk materi ruang dan dua hari di Pantai Bandealit – Taman Nasional Meru Betiri untuk praktik di lapangan. Kami berempat memberanikan diri berangkat ke kota yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, Kota Jember demi mendapatkan ilmu konservasi.



            Dua hari kami mengikuti materi di UNEJ, acara berjalan biasa saja. Waktu membuat kami semua peserta dan beberapa panitia saling mengenal satu sama lain. Tiba hari keempat, truk menjemput kami untuk mengantarkan kami ke Pantai Bandealit. Selama perjalanan ke Bandealit, kami semua peserta semakin akrab, bercanda ria selama perjalanan.





            Di Bandealit, kami menginap di dekat Pantai. Kami belajar analisis vegetasi, pengamatan burung, dan analisis kualitas air disana. Kami juga melakukan analisis sosial penduduk Desa Bandealit. Malam harinya ketika acara bebas, kami membuat api unggun dan mengobrol bersama hingga larut. Ditemani semilir angin dan suara ombak laut.
            Di daerah Taman Nasional Meru Betiri tersebut, kami dapat menemui bermacam-macam burung yang sudah langka, seperti elang jawa, rangkok, cangak, dll. Satwa langka juga dapat ditemui pada waktu dan tempat tertentu. Konon terdapat penangkaran Rusa di sekitar Bandealit, namun Rusa tersebut sudah masuk ke hutan. Terdapat satu Rusa yang masih sering berkeliaran di Bandealit, Rusa tersebut sudah jinak dan sangat cerdik. Sayang, selama beberapa hari di Bandealit kami tidak menemuinya.

            Pada saat pengamatan burung, menyusuri muara, pantai, hingga hutan, Kami sempat menemui jejak kaki rusa dan kucing hutan. Kami juga menemui kera-kera sedang berkejaran bergelantungan di atas pohon. Kami juga sempat menemui Banteng soliter di dekat kamar mandi. Untung Banteng tersebut tidak menyerang Kami.


            Sore hari pada perjalanan sepulang praktik analisis kualitas air, kami melewati perkebunan yang letaknya sebelum rumah penduduk Bandealit. Kami ditemani Pak Celeng yang merupakan anggota Tagana atau Taruna Siaga Bencana. Sepanjang perjalanan beliau bercerita banyak mulai dari pengalamannya di hutan hingga masalah macan jawa yang katanya punah. Dipertengahan jalan, beliau mengajak kami untuk melihat rombongan Banteng.



            Rombongan Banteng itu muncul di daerah perkebunan setiap sore untuk mencari makan. Kami semakin mendekat untuk mengamati banteng itu dan mendapatkan fotonya. Sungguh senangnya melihat satwa-satwa langka ini langsung di alamnya. Banteng betina berwarna cokelat sedangkan yang jantan berwarna hitam. Dari Pak Celeng, aku baru tahu bahwa ternyata Banteng soliter (sendiri) lebih berbahaya daripada koloni Banteng. Ini dikarenakan Banteng soliter biasanya adalah Banteng yang dikucilkan atau diusir dari kelompoknya. Setelah puas mengamati Banteng itu, kami melanjutkan perjalanan kembali ke tenda.


            Kami berempat sempat mencuri-curi waktu di tengah acara untuk berpetualang mengelilingi Pantai Bandealit. Maklum, baru pertama ini kami ke tempat ini, sementara yang lain sudah berkali-kali. Kami menyusuri pantai menuju daerah estuaria atau muara sungai untuk sekedar berfoto-foto. Bahkan berkali-kali panitia menegur kami pada saat kepergok foto-foto di pinggir pantai. Ombak di pantai itu memang tinggi, dan menunjukkan gejala akan adanya pasang. Kami bahkan sempat terjebak air laut ketika diam-diam pergi ke muara. Dan ternyata muaranya banjir karena tambahan volume air laut. Akhirnya kami mencari jalan pintas untuk kembali ke tenda tanpa sempat berfoto.

            Hari kedua, kami meninggalkan Bandealit menuju UNEJ. Di UNEJ, kami melanjutkan materi dan mengolah data pengamatan yang didapat dari Bandealit. Setelah acara selesai, kami berempat dari Surabaya tidak langsung pulang. Kami dan peserta lain mengunjungi Mapala yang ada di UNEJ serta Poltek Jember. Saking banyaknya Mapala disana, sehari berputar di UNEJ untuk mengunjungi Mapala-mapala disana tidak cukup. Selain menambah ilmu mengenai konservasi, disana kami juga menemukan kehangatan baru Keluarga Mapala Se-JATIM. Salam Lestari!

 

Thursday, July 1, 2010

Serunya Menjelajah Hutan dengan Navigasi Darat


                Biasanya aku bersama teman-teman mendaki gunung dengan melewati jalur yang telah ada. Ilmu Navigasi darat hanya diperlukan pada saat-saat tertentu saja, misalkan ketika tersesat. Namun kali ini Aku bersama Team yang terdiri dari sembilan orang melakukan pendakian dengan melewati jalur yang berbeda. Kami harus mempelajari peta tempat yang akan kami lalui terlebih dahulu, menentukan titik-titik koordinat yang akan kami lalui, menentukan sudut-sudut belok, dll. Dan akhirnya perjalanan itu pun tiba. Disaat kami melewati jalan yang belum kami ketahui sebelumnya dan tanpa seorang pendaki atau penduduk pun bisa kami temui. Sepanjang perjalanan kami penuh dengan kejutan oleh pemandangan yang menakjubkan dan pengalaman seru.
        Sayup-sayup terdengar lagu dari ponsel yang waktu itu masih bisa dinyalakan. “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia.” Lagu ini tak asing lagi bagi kami, para pemuda – pemudi yang hobi naik gunung dan kegiatan alam bebas lain. Lagu yang dinyanyikan Erros SO7 feat Okta sebagai soundtrack film Gie menemani makan malam kami di tempat gelap nan rindang ini.
        “Akan aku telusuri jalan yg setapak ini semoga kutemukan jawaban, jawaban, jawaban,  oh oh oh.” Ya, kami sembilan rombongan mahasiswa dari Surabaya sedang melakukan perjalanan di tempat yang tidak kami ketahui sebelumnya, di daerah yang tak terjamah manusia, hanya berbekal nyali. Kami bersembilan menghabiskan malam, beralaskan bumi dan beratapkan langit, dengan penerangan cahaya bulan dan bintang secukupnya.
        Ups, ralat!! berbekal nyali saja tidak cukup untuk melakukan perjalanan di alam bebas, terutama di hutan dan pegunungan. Banyak bekal yang harus dipersiapkan untuk menghindari kecelakaan karena human error, perlu ilmu khusus untuk mempelajarinya, yaitu Teknik Hidup Alam Bebas serta Ilmu Medan dan Membaca Peta atau dikenal juga dengan istilah Navigasi Darat.
        Dua bulan sebelum keberangkatan, kami telah melakukan persiapan, mempelajari materi dan latihan fisik secara rutin dua kali dalam satu minggu. Tentu saja latihan ini tidak berjalan begitu saja dengan mulus. Banyak rintangan mulai dari rasa lelah, bosan, padatnya tugas kuliah, dll. Berbekal keinginan kuat untuk bisa meraih ambisi, akhirnya kami berusaha melawan rintangan tersebut, berusaha mengatur waktu sebaiknya, dan berusaha memperkuat kekompakan satu team dengan saling menyemangati.
                                    Menuju titik start (Gunung Pundak)                               Membaca peta topografi

        Kami memulai perjalanan dengan titik start di sekitar Gunung Pundak. Puncaknya terdiri dari pepohonan yang lebat namun terdapat tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Disanalah kami bermalam dan mengumpulkan sejumlah tenaga. Kami memulai perjalanan dengan menggunakan dua senjata andalan kami, peta dan kompas.

Memasak di puncak Pundak

        Kami mulai dengan menentukan titik-titik koordinat, menentukan sudut-sudut perjalanan, menembak sudut menggunakan kompas, kemudian mulai melangkah selangkah demi selangkah mengikuti arah jarukm kompas. Kami belum pernah melewati jalan-jalan itu sebelumnya, bahkan tidak ada pendaki lain yang kami temui sepanjang perjalanan. Namun kami yakin, dengan ilmu navigasi darat yang telah kami pelajari, kami akan selamat sampai tujuan.
        Terdapat motto yang harus dipatuhi dalam setiap perjalanan, yaitu “Dilarang mengambil sesuatu selain foto, dilarang meninggalkan sesuatu selain jejak, dan dilarang membunuh sesuatu selain waktu”. Tentu saja kami mematuhi aturan itu agar alam tetap lestari. Kami membuka jalur baru, bukan berarti kami menebang pohon-pohon yang kami lewati, karena kami punya etika. Kami hanya membuka jalur sementara, bukan permanen. Kami juga membawa turun kembali sampah-sampah yang kami hasilkan selama beraktifitas di hutan.

Membidik dari atas batu besar

        Medan yang kami temui pertama kali adalah barisan alang-alang di sebuah bukit dan lembah yang memisahkan kami dari bukit di seberang. Terkadang kabut menghalangi pandangan, namun kami terus bersabar hingga kabut tipis itu perlahan hilang. Kami sangat lega setelah sampai di bukit seberang, namun perjalanan belum usai, kami harus menyeberang lagi, dan lagi. Sepenjang hari yang kami lakukan adalah terus membidik dan melangkah, berjumpa dengan berbagai hal baru dan pemandangan baru, mulai dari bebatuan yang amat besar menambah keindahan bukit itu, serta lumut kerak yang tumbuh tanpa gangguan polusi udara. Sungguh nikmat rasanya.
          
                Puncak Pringgodani                        Background Gunung Pananggungan

         Perjalanan yang akan kami tempuh selanjutnya adalah Gunung Pringgodani. Sebuah bukit yang bervegetasi alang-alang dan pohon cemara yang hampir kering dan roboh karena teriknya matahari. Kami agak panik dan sedikit takut. Angin di puncak ini sangat kencang, hawanya pun sangat dingin, sementara kami harus bermalam disini. Secepat mungkin kami mendirikan tenda sambil melawan angin yang mengibas-ibaskan segala perlengkapan yang kami bawa. Sebagian lagi menyiapkan makan malam dan minuman hangat.
         Setelah kenyang menyantap makanan ala kadarnya, kami bergegas untuk beristirahat dan menghangatkan badan di tenda. Betapa ini malam yang membuatku tidak bisa tidur karena imajinasiku terus melayang. Aku ketakutan, angin kencang membuat tenda kami bergoyang. Aku sungguh takut kalau-kalau pohon cemara itu roboh dan menimpa tenda kami. Aku sungguh takut kalau-kalau angin malam itu berhasil membawa terbang tenda kami. Alhamdulillah kekhawatiranku tidak terjadi. Tenda kami masih utuh, dan kami masih bisa bernafas dan sarapan pagi keesokan harinya.
Memasak bersama di Puncak Pringgodani

        Masalah timbul lagi, persediaan air kami menipis dan kami memutuskan untuk sehemat mungkin menggunakan air sampai menemukan sumber air berikutnya. Untunglah tak lama kemudian beberapa dari kami pergi dan berhasil membawa berliter-liter air. Terdapat tandon air di sekitar tempat ini rupanya. Kami bersiap melanjutkan perjalanan dengan hati tenang setelah sebelumnya kami melakukan pengamatan burung dan mendapati sejumlah burung yang Aku sendiri agak lupa apa saja jenis spesiesnya.
         Yang paling Aku ingat adalah elang jawa yang sedang terbang menjulang, walet yang terbang dengan terseok-seok, sejenis burung emprit, dll. Bagi kalian yang hobi bird watching, lokasi di daerah sekitar hutan Mojokerto, Trawas ini cocok sebagai rekomendasi tempat indah dan mudah didaki dengan keanekaragaman burung yang belum banyak diteliti.
  Analisis Vegetasi                                              Beraktivitas di atas bebatuan 

         Lokasi tujuan kami selanjutnya adalah G. Seloungkal yang merupakan titik finish perjalanan kami. Kami terus mendaki di daerah dengan kelandaian yang lumayan agak miring atau curam dengan vegetasi alang-alang dan bebatuan. Kami kesulitan menemukan tempat untuk bermalam hingga akhirnya kami bermalam di daerah dengan pepohonan yang hampir roboh beralaskan tanah yang tidak rata karena terdapat bebatuan di atasnya. Beruntung angin tidak begitu kencang sehingga kami agak tenang. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki hutan yang lumayan lebat. Kami melakukan analisis vegetasi dan pengamatan burung (bird watching) disana.
                               
        Camping di atas ilalang 1900 mdpl             Menyatu dengan indahnya alam

Background G. Pananggungan

         Lokasi penjelajahan kami hanya berupa barisan bukit dan lembah dengan ketinggian maksimal yang kita daki sekitar 1900 mdpl. Ternyata ketinggian tersebut cukup membuat kami kedinginan dan terbuai dengan keindahan ilalang dengan background Gunung Pananggungan dan lampu kota. Tidak hanya itu, setiap hari kami dikejutkan dengan pemandangan alam baru yang amat menakjubkan. Subhanallah Kami sangat beruntung bisa melihat dan menikmati keindahan tersebut. Sesekali kami membuat api unggun dan mengobrol sampai larut sambil memandang bintang di langit. Bintang-bintang itu terasa lebih dekat untuk kami raih. Kami terus berbincang hingga malam semakin larut, dan waktu membuat kami terlelap.
         Meskipun sangat menikmati perjalanan ini, sebenarnya kami merasa agak cemas. Hari ini seharusnya kami telah mencapai titik finish. “Pasti teman-teman di Surabaya mencemaskan kita” pikir kami. Sebisa mungkin kami mencoba tetap tenang. Kami memperhitungkan persediaan makanan yang masih tersisa dan berhemat sebisa mungkin. Kami agak cemas kalau-kalau ternyata jalur perjalanan kami salah alias nyasar. Namun kami terus meyakinkan diri dengan terus mengikuti arah bidikan kompas.
                      Menentukan arah dengan bidikan kompas                     
       
            Setelah enam hari berada di hutan, akhirnya hari itu tiba. Meskipun hidup di hutan yang jauh dari keramaian adalah hal menyenangkan bagi kami, namun kehidupan di kota membuat kami rindu. Rindu akan orang-orang yang kami sayangi, rindu makanan enak dan kasur yang empuk. Ini tidak bisa dipungkiri, oleh siapapun. Akhirnya kami mendekati titik finish. Sebelum mencapai puncak Seloungkal, kami melewati lembah dengan vegetasi alang-alang dan beberapa pepohonan dengan tekstur khas.
Sebelum puncak Seloungkal                           Beristirahat diantara alang-alang

          Matahari senja yang memantulkan cahaya jingga menambah keindahannya. “Subhanallah, apakah ada tempat seindah ini selain syurga?” batinku dalam hati. Aku tidak menyangka masih ada tempat indah di dunia ini yang tak terjamah. Kami beristirahat sejenak melepas dahaga sambil menikmati keindahan lembah itu. Aku yakin, tempat ini sangat jarang dikunjungi bahkan oleh penduduk. Terlihat dari setapaknya yang sudah agak menghilang dan ditumbuhi rumput liar.

Menuju Seloungkal                       Setapak turun dari   Seloungkal       

           Kami agak kesulitan menemukan jalan menuju Gunung Seloungkal, namun karena kesabaran dan kegigihan akhirnya tempat itu berhasil kami temukan. Kami berfoto ria sebentar di puncaknya kemudian segera turun menjauhi tempat itu. Kami lega setelah menemukan keramaian kembali. Kembali bertemu dan bersosialisasi dengan penduduk lain. Meskipun kami senang telah kembali berada di antara keramaian penduduk, kami akan sangat merindukan saat-saat berkenalan dengan alam, saat-saat pendekatan dengan alam.
            Perjalanan ini sebenarnya bukan benar-benar perjalanan yang kami impikan. Ini hanyalah latihan sebelum kami melakukan perjalanan sebenarnya. Namun perjalanan yang sebenarnya kami impikan itu belum terwujud hingga sekarang. Aku harap perjalanan itu akan terwujud suatu saat nanti. Aku mulai mencoretkan sebuah puisi di sebuah lembaran kertas. Puisi ini Aku dedikasikan untuk sembilan saudara yang Aku rindukan, sembilan saudara yang pernah melangkah bersama membunuh waktu, sembilan saudara pemilik mimpi yag tertunda.


Kebersamaan dalam Sunyi

Waktu itu kita bersama
Bersama menentukan arah
Bersama menapaki lembah
Bersama meraih angan
Dalam satu tujuan bersama

Tenda kuninglah saksi bisu
Riuh canda tawa penuh harap
Meramaikan malam dingin nan sunyi
Mengukir kisah tuk dikenang

Perlahan kabut menepi
Menyisakan basah di ilalang
Senja menambah degradasi jingga
Menyaksikan manisnya kebersamaan
Kebersamaan meleburkan ketakutan

Bibir-bibir mulai tersenyum lega
Saat kaki mulai melangkah
Menjauh dari rumput-rumputmu
Namun, setiap waktu ku akan merindumu

Pundak-Pringgodani-Seloungkal at Juni 2010
Akankah kebersamaaan itu terulang?
Tempat impian yang menjadi harapan
Akankah kita wujudkan mimpi itu?
Dalam kebersamaan lagi...

 
Perjalanan usai (Puncak Seloungkal)