Edelweis bunga abadi itu akan tetap
indah jika berada di alam bebas, di gunung-gunung seluruh penjuru dunia. Dan
kita semua adalah pemiliknya, pemilik edelweis yang tumbuh liar di alam bebas.
Memiliki bukan berarti bisa semenanya memetik dan membawanya pulang. Memiliki
berarti harus mampu menjaganya sepenuh hati seperti seorang Ibu yang menjaga
anaknya.
Dulu sewaktu pendakian pertamaku
telah sampai di Pondokan Arjuno, kami melihat sebuket edelweis yang telah
tersusun apik di dalam vas bunga terbuat dari belerang. Bunga cantik itu
katanya abadi, dan sudah lama aku ingin memilikinya. Para penambang belerang
itu sengaja menjualnya sebagai tambahan penghasilan mereka. Bunga itu dijual
seharga duapuluh ribu rupiah. Betapa sumringah aku melihatnya.
'Sebentar lagi mimpiku untuk
memiliki bunga itu akan terwujud' aku berkata dalam hati. Ingin aku membelinya,
namun perkataan seseorang mengurungkan niatku. Dia adalah Mas Iteng, seniorku
di PLH SIKLUS ITS angkatan Pra Diklat. Beliau berkata "Jika kalian membeli
edelweis, maka para penjual itu akan senang dan memetik lebih banyak edelweis
untuk dijual. Dan jika itu terjadi maka kalian adalah salah satu orang penyebab
kepunahan bunga edelweis yang sekarang pun sudah semakin jarang ditemui. Lalu
masih pantaskah kalian menyebut diri sebagai pencinta lingkungan hidup?".
Betapa perkataannya membuat kami bersembilan tertohok.
Musnah sudah harapanku. Cinta memang
tak harus selalu bersama. Aku rela tak bersamamu asal kamu bahagia di
puncak-puncak pegunungan itu, batinku.
Edelweis lambang keabadian, namun
bagaimana jika suatu saat ia punah? Masihkah pantas ia disebut abadi? Kitalah
yang harus menjaga keabadian Edelweis dengan tidak memetiknya. Sampai saat ini
keinginanku untuk bisa membawa pulang edelweis itu telah sirna. Biarlah aku
menikmati keindahannya saat di puncak saja agar kumbang-kumbang itu pula tak
kehilangan madunya.
'Sebentar lagi mimpiku untuk memiliki bunga itu akan terwujud' aku berkata dalam hati. Ingin aku membelinya, namun perkataan seseorang mengurungkan niatku. Dia adalah Mas Iteng, seniorku di PLH SIKLUS ITS angkatan Pra Diklat. Beliau berkata "Jika kalian membeli edelweis, maka para penjual itu akan senang dan memetik lebih banyak edelweis untuk dijual. Dan jika itu terjadi maka kalian adalah salah satu orang penyebab kepunahan bunga edelweis yang sekarang pun sudah semakin jarang ditemui. Lalu masih pantaskah kalian menyebut diri sebagai pencinta lingkungan hidup?". Betapa perkataannya membuat kami bersembilan tertohok.
Musnah sudah harapanku. Cinta memang tak harus selalu bersama. Aku rela tak bersamamu asal kamu bahagia di puncak-puncak pegunungan itu, batinku.
Edelweis lambang keabadian, namun bagaimana jika suatu saat ia punah? Masihkah pantas ia disebut abadi? Kitalah yang harus menjaga keabadian Edelweis dengan tidak memetiknya. Sampai saat ini keinginanku untuk bisa membawa pulang edelweis itu telah sirna. Biarlah aku menikmati keindahannya saat di puncak saja agar kumbang-kumbang itu pula tak kehilangan madunya.
No comments:
Post a Comment