Argopuro, salah satu gunung yang populer di
kalangan pencinta alam maupun pendaki ini terletak di daerah perbatasan
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Situbondo. Gunung ini
memiliki 2 puncak, yaitu Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro. Sebuah lagu dari
band indie asal Jember, Tamasya band, berjudul “Edelweiss” yang sering berkumandang di sekretariat
tercinta membuatku semakin ingin menjajal gunung tersebut. Meskipun pada
mulanya ada sedikit rasa takut oleh cerita mistis beberapa teman yang pernah
mendaki gunung tersebut, akhirnya pada 24 Desember 2011 Aku beranikan diri untuk
berangkat menapaki jalur tracking terpanjang di Jawa tersebut.
Kami 8 mahasiswa, tepatnya 4
mahasiswa dan 4 mahasiswi mengisi minggu tenang untuk mencari kedamaian hati
bersama lembutnya kabut dan dinginnya udara pegunungan Hyang. Gunung Argopuro
memiliki dua jalur pendakian, yaitu Bremi dan Baderan. Kami memilih berangkat
dari Bremi dan pulang melewati Baderan. Untuk sampai ke Bremi, dari Surabaya
Kami naik bus dan turun di terminal Probolinggo, kemudian naik angkot hingga
Garasi Akas. Sesampainya di Akas, Kami menunggu hingga jam 6 pagi, bus dari
Akas menuju Bremi hanya ada pukul 6 pagi
dan 11 siang. Sesampainya di Bremi, Kami mengurus perijinan di Polres setempat
kemudian capcus menuju Taman Hidup.
Kami membentuk formasi. Janah
sebagai satu-satunya yang pernah menapaki jalur Argopuro sebelumnya dipilih
sebagai penunjuk arah. Rozak berada pada barisan paling depan mengikuti jalur
track pada GPS. Saking banyaknya percabangan dan jalur tikus bagi penebang
liar, jalur dari Bremi menuju Taman Hidup ini agaknya membingungkan bagi yang
pertama kali menapakinya. Nampaknya pengalaman dari satu orang dan alat bantu
GPS yang sengaja Kami bawa tidak menjadi jaminan bahwa Kami tidak akan
tersesat.
Di suatu persimpangan jalan Kami
agak bingung membuat keputusan. Ikut jalur lurus namun lumayan menanjak, atau
belok kanan dengan kontur yang agak melipir. Akhirnya Kami memutuskan untuk
mengikuti jalur ke kanan dengan pertimbangan bahwa kedua jalur tersebut pada
akhirnya ada pada satu titik pertemuan. Dengan kata lain, lewat jalur lurus
maupun kanan akan sama saja. Kami terus mengikuti jalur yang ada hingga
akhirnya Kami menemui jalan buntu. “Oh man, ternyata ini jalannya para penebang
pohon”. Banyak kayu bekas tebangan yang berceceran. Kami tersesat.
Bekas jalan perambah kayu
Fyuh, ternyata jalan menuju kembali
ke atas lebih menguras tenaga dan memakan banyak waktu. Ada persimpangan ke
kanan dan Kami mengikuti jalan itu, sesuai arah pada GPS. Setelah berjalan dan
berjalan selama beberapa waktu Kami kembali menemui jalan buntu. Kami semua
menghentikan langkah dan beristirahat di semak-semak yang agak datar. Sementara
Mbak Matus dan Rozak mendaki lebih ke atas untuk mencari jalan. Mbak Matus
seperti menemukan Danau Taman Hidup, tapi rupanya setelah lebih diselidiki yang
dilihatnya hanyalah kabut tebal nan putih. Kami semua ingin kembali lagi ke
jalan semula, sebelum belok kanan dari jalan persimpangan. Akan tetapi Mbak
Matus yakin akan jalan yang dipilihnya. Ia terus mengikuti jalur track pada
GPS. Tentu saja Kami tak mungkin meninggalkannya sendiri. Akhirnya Kami
mengikutinya juga.
Jalur yang Kami lewati lebih
menjadi. Sebuah turunan yang lumayan curam dengan semak-semak liar yang tak
bersahabat. Terpaksa Kami menuruninya walau harus pelorotan. Tempat ini seperti
menuju ke jurang atau sejenisnya. Jujur, Aku agak takut. Takut tempat ini
semakin menyesatkan, dan Kami semakin tak bisa keluar. Sore hari sudah
menjumpai masa akhirnya. Sebentar lagi waktu magrib segera tiba, dan gelap
tentunya akan menyapa. Kami memutuskan kembali ke atas. Kembali ke persimpangan
semula membutuhkan waktu yang cukup lama, ditambah lagi suasana gelap akan
menyusahkan Kami mencari jalur yang benar. Akhirnya Kami menemukan tempat yang
lumayan datar. Meskipun tempat ini agak sempit, cukuplah untuk membuat tenda
seadanya.
Kami berangkat dari Polsek sekitar
pukul 10 pagi, harusnya Kami sampai di Danau Taman Hidup sekitar pukul 3 sore.
Tapi ini sudah beranjak magrib dan Kami masih tersesat di hutan belantara.
Rencana untuk mendirikan camp di Danau Taman Hidup menjadi gagal. Aku tak peduli.
Aku tak peduli lagi tentang Taman Hidup, tempat yang Aku impi-impikan itu. Aku
lelah. Seumur-umur mendaki, baru kali ini Aku tersesat. Apalagi ini di
pegunungan Argopuro, banyak berita orang hilang disini. Jujur, Aku sendiri
sudah hampir menyerah, sedetik kemudian Aku menyesali keputusanku berangkat ke
tempat ini, sedetik kemudian Aku ingin segera sampai ke kota tempat tinggalku.
Perasaan penyesalan maupun ketakutan ini tentu saja kusimpan sendiri.
Aku tak sendiri, Kami berdelapan,
dan dari 8 kepala itu tentu cukup untuk berpikir mengenai langkah-langkah yang
akan Kami ambil selanjutnya. Kadang Aku berpikir kekhawatiranku ini sangatlah
berlebihan ketika melihat ternyata Mereka terlihat sukses membuang jauh rasa
takut dan segera mencari solusi dari ini semua. Mereka sama sekali tidak ingin
kembali pulang seperti yang dipikiranku. Mereka terlihat lebih kuat. Aku
mencoba menguatkan diri, seperti Mereka. Taman Hidup, Cisentor, Puncak,
Cikasur, dan Baderan tetap menjadi tujuan Kami.
Para cowok tidur di tenda yang
letaknya agak di bawah dataran tempat tenda para cewek berdiri. Kami berniat
untuk rapat koordinasi malam itu, tapi ternyata para cowok sudah pada ngorok
tanpa sempat memakan sepotong roti pun. Sungguh Aku bisa merasakan lelah yang
dirasakan Mereka. Akhirnya sebelum tidur, Kami melempar sebungkus roti ke tenda
cowok kemudian membuka GPS untuk melihat jalur Taman Hidup. Astagaaa! Ternyata
jalur Taman Hidup yang selama ini Kami ikuti salah. Orang terdahulu yang
menggunakan GPS ini salah mengeplot titik koordinat Danau Taman Hidup. Pantas
saja Kami tersesat. Aaaahhh, Aku lega, paling tidak Aku tahu alasan Kami
tersesat, rupanya karena kesalahan pengeplotan titik koordinat Taman Hidup pada
GPS. Bukan karena kerusakan sistem pada GPS yang Kami bawa, ketidak terampilan
Kami dalam menggunakan GPS, atau penyebab-penyabab mistis yang mungkin saja
terjadi di Pegunungan angker ini.
Keesokannya Kami bangun sangat pagi,
tak pernah Aku bangun sepagi ini saat pendakian. Kami sempat mendengar teriakan
manusia, beneran manusia. Sepertinya suara itu berasal dari Danau Taman Hidup.
Kami membalas suara itu dengan berteriak kencang, berharap Mereka juga
mendengar Kita. Tapi sia-sia. Kami segera melakukan pembagian tugas setelah
sarapan dengan snack dan roti secukupnya. Janah dan Rozak berangkat terlebih
dahulu untuk mencari jalur. Aku dan yang lain beres-beres tenda dan packing. Setelah selesai packing, sekitar pukul 7 pagi, Kami
segera mengikuti jalur yang dilewati Janah dan Rozak. Mereka daritadi sudah
berteriak-teriak memberi isyarat pada Kami untuk bergegas mengikutinya. Mereka
memasang streamline berupa pita warna
biru pada beberapa pohon agar Kami tidak kehilangan jejak.
Akhirnyaa Kami menemukan Danau Taman
Hidup sekitar pkul 8.30 pagi. Benar dugaan Kami, Taman Hidup tak jauh dari
lokasi Kami bermalam. Sayang sekali Kami tidak bisa bermalam di danau ini. Tapi
Aku sudah cukup lega karena telah keluar dari zona sesat. Kami bergegas menuju
jembatan yang kayunya sudah lapuk dan berujungkan gubuk tua di tengah danau. Di
gubuk tersebut telah ramai anak-anak kecil usia SMP sedang memancing. Mereka
penduduk lokal dan telah terbiasa bermain disini.
Menemukan
Danau Taman Hidup
Setelah puas berfoto, Kami bergotong
royong memasak nasi, soto, dan telur dadar. Soto berkuah kuning yang hanya
terasa pahitnya kunir karena ada bumbu yang kurang. Meskipun rasanya agak aneh,
Kami tetap lahap memakannya. Mungkin ini karena perut yang keroncongan setelah
energi terkuras habis akibat tersesat seharian. Sekitar pukul sebelas siang,
Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan Kami selanjutnya adalah Cisentor.
Sebenarnya Aku agak takut. Takut kemungkinan nyasar kembali. Tapi karena Mereka
yakin, Akhirnya Aku meyakinkan diri. Cukup kemarin saja Kami tersesat di
pegunungan hyang ini. Tunggu Kami di Puncakmu Dewi Rengganis!
Bersambung*
No comments:
Post a Comment