Kami kembali melanjutkan perjalanan
di pegunungan Hyang. Pegunungan dengan jalur track terpanjang di Jawa dan
dengan medan yang lumayan menyiksa bagi pendaki pemula. Kami berangkat dari
Danau Taman Hidup, sebuah danau yang terkenal akan keindahannya di pegunungan
ini menuju Cisentor, sebuah pondokan tempat persimpangan antara puncak dan
Cikasur. Selama perjalanan dari Danau Taman Hidup hingga Cisentor, Kami
dimanjakan oleh pemandangan hutan yang masih lebat. Pepohonan menjulang tinggi
dengan ditumbuhi tumbuhan paku serta lumut-lumut hijau yang menambah kesan
rimba. Gunung ini sangat sepi pengunjung. Selama perjalanan ke Cisentor, Kami
sama sekali tak berpapasan dengan pendaki lain.
Savana
Kami telah sukses melewati hutan
cemara dan pondok sinyal meskipun dengan perjuangan yang ekstra ngos-ngosan.
Kami sempat putus asa karena kelelahan dan kedinginan. Bukan Kami semua. Janah
dan Rozak masih semangat melanjutkan perjalanan dengan langkah yang sangat
kilat. Aku sampai heran dan bertanya-tanya, apa makanan Mereka berdua?. Mereka
masih sangat kuat melangkahkan kaki disaat Kami hampir mati kedinginan.
Seumur-umur mendaki, baru kali ini pula Aku kedinginan pada saat perjalanan.
Sungguh ini adalah waktu yang tak tepat untuk mendaki gunung. Dinginnya udara
mungkin bisa ditutupi jaket, tapi dinginnya air hujan tak ada yang bisa
menghilangkannya kecuali pakaian basah yang Kita kenakan dibuang jauh-jauh.
Sungguh baru kali ini Aku mendaki di musim hujan. Di Argopuro pula.
Hutan lumut
Hari sudah semakin sore dan cahaya
matahari yang redup tertutup mendung akan digantikan rembulan yang bisu tak
mampu mengusir gelap. Kami baru sampai di Kali Kenik, sementara sebentar lagi
langit akan menghitam. Janah tetap pada pendiriannya ingin melanjutkan
perjalanan ke Cisentor, tak peduli gelap menghadang. “Setengah jam lagi juga
sampai kok”, bujuknya. Kami yang sudah kelelahan dan takut tersesat dalam gelap
serempak menolaknya. Ditambah lagi kondisi kaki teman Kami yang sudah agak
pincang jalannya. Tak tega pula Aku melihatnya. Kami segera mendirikan tenda,
memasak, makan, lalu tidur.
Bernarsis ria di kali kenik
Kami berencana untuk keesokan
harinya berangkat pagi-pagi tanpa memasak, dan akan memasak di Cisentor. Tapi
rencana hanyalah rencana. Keesokan paginya benar saja Kami tidak memasak, Kami
hanya makan snack dan roti seadanya. Tapi cuaca yang buruk, hujan yang tanpa
henti, membuat Kami malas untuk keluar tenda dan melanjutkan perjalanan. Kami
menunggu dan menunggu sampai hujan reda. Namun yang ditunggu tak kunjung reda.
Akhirnya sekitar pukul 10 pagi Kami berangkat dari Kali Kenik menuju Cisentor.
Seperti biasa, Janah dan Rozak memimpin di depan. Yang di belakang, Aku dengan
malu-malu setiap lima menit sekali memegang perut sambil membayangkan makanan
lezat. Huft, sungguh ini tak pantas ditiru, melanjutkan perjalanan tanpa
mengisi energi dengan cukup.
Gara-gara seharian nyasar di hari
pertama sebelum sampai Danau Taman Hidup, rencana perjalanan Kami molor hampir
satu hari. Bahkan beberapa dari Kami tidak memiliki semangat dan optimisme lagi
untuk summit attact. “Sudahlah,
tujuanmu mendaki untuk apa? puncak bukanlah tujuan satu-satunya. Kondisinya
sekarang sudah jam berapa? Aku sudah tak menginginkan puncak lagi”. Salah satu
dari Kami mengeluarkan pendapat yang di iyakan oleh beberapa yang lain. Aku
sendiri, dari hati ingin tetap ke puncak dan memaki-maki diri sendiri karena
tak tahu apakah suatu saat bisa ke tempat ini lagi untuk ke puncak. Aku sangat
ingin tahu wajah Puncak Rengganis. Apakah semanis dalam lagu itu? “Manis manis
manis engkaulah Puncak Rengganis”, begitulah liirik lagu berjudul “Edelweiss”
yang sering dikumandangkan di komputer sekretariat. Sebuah lagu oleh-oleh dari
Jember. Lagu ini tenar di kalangan pecinta alam di Jember. Anggota grub band
yang menyanyikan lagu ini pun berasal dari alumni pecinta alam. Tamasya band.
Pondok
Cisentor
Sekitar pukul 1 siang Kami sampai di
pondok Cisentor. Sebuah pondok satu-satunya telah ditempati para calon anggota
Sispala yang sedang menjalani masa pendidikan. “Ayo, Siapa yang mau muncak, Aku
mau muncak, yang muncak ayo muncak yang tidak nunggu disini, Kita makan cracker
aja dulu, masaknya nanti saja setelah muncak”. Gelegar suara Janah penuh entah
penuh amarah atau semangat. Meski pada awalnya sudah banyak yang patah semangat
untuk summit attact, Akhirnya Kami
semua menyerah juga. Kami tidak bisa membohongi diri, bahwa Kami ingin
menikmati indahnya Puncak Rengganis. Sudah jauh-jauh sampai disini masak iya
gak sampai puncak. Ditambah lagi kondisi yang memungkinkan karena hujan sudah
reda.
Kami semua akan melanjutkan
perjalanan ke puncak. YEAAY!! Aku sangat senang, karena dari awal Aku sangat
ingin melihat dengan mataku sendiri manisnya Puncak Rengganis dan Puncak
Argopuro. Walaupun sungguh sebenarnya Aku ingin makan nasi, tetapi karena
dikejar waktu, perjalanan pulang pergi Cisentor-Puncak sekitar 5 jam, akhirnya
Aku cukup menyantap cracker. Masak nasi plus lauk pauk membutuhkan waktu yang
lumayan lama, bisa lebih dari satu jam. Kami tidak mau dalam keadaan masih
dalam perjalanan setelah cahaya matahari terbenam. Satu jam adalah waktu yang
cukup untuk melakukan perjalanan dari Cisentor menuju ke Rawa Embik. Rawa Embik
adalah mata air tertinggi di pegunungan ini. Sesampainya di Rawa Embik, Kami
berhenti sebentar untuk mengambil air. Sangat segar.
Narsis diantara kabut
Jalan menuju puncak
Kami melanjutkan perjalanan sambil
berfoto ria hingga akhirnya Kami sampai di pertigaan. Pertigaan ini adalah
pemisah tiga jalur, jalur Puncak Rengganis, jalur Puncak Argopuro, dan jalur
turun ke Cisentor. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak
Rengganis. Belum sampai puncaknya, hujan kembali turun. Kami tetap melangkah
membelah hujan dengan jas hujan Kami. Alhasil Kami hujan-hujanan di Puncak.
Meskipun hujan dan kabut agak menghalangi pandangan, namun Kami sepakat, Puncak
Rengganis benar-benar manis. Benar-benar indah. Apakah Dewi Rengganis juga
manis? Kami tak peduli lagi, karena Kami tahu, angin pun tak dapat menjawab
pertanyaan itu.
Sebelum menaiki bebatuan di puncak rengganis
Kami segera berfoto ria di puncak
meskipun hujan membasahi baju yang Kami kenakan untuk berpose di depan kamera.
Karena dingin dan kucuran air hujan yang semakin membuat pakaian Kami basah,
akhirnya waktu 15 menit Kami cukupkan. Kami segera turun kembali menuju
Cisentor. Kami tidak menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Argopuro karena
takut kemalaman. Katanya untuk mencapai Puncak Argopuro harus melewati medan
yang lebih curam. Akhirnya Kami hanya sempat melambaikan tangan untuk Puncak
Argopuro. “Kami akan mampir kapan-kapan”. Janji Kami yang tak tahu akan Kami
tepati atau tidak. Sebelum magrib Kami
telah sampai di Cisentor dan segera memasak serta mendirikan tenda.
Sambil menggigil.
Puing kerajaan dewi rengganis
Berfoto di puncak rengganis
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment