Kami
bersepuluh orang berangkat dari Surabaya sore hari. Malam hari sesampainya di
Mojokerto kami langsung parkir motor dan tancap gas menyusuri hutan, mendaki
setapak Pananggungan. Tidak satupun diantara kami pernah kesini sebelumnya,
maka kami menyusuri arah setapak jalan hanya berdasar logika dan intuisi. Ini
yang menyebabkan sedikit masalah, kami sempat tersesat selama kurang lebih
setengah jam. Jalan setapak di Pananggungan cukup menanjak. Jika Kalian ingin
melakukan pendakian di Gunung ini, harus menyiapkan air secukupnya karena di
gunung ini tidak ada kali atau sungai.
Kami
terus melangkah mengejar waktu agar tidak kehilangan moment kembang api yang
tepat menyala pukul 00.00 WIB. Namun, harapan kami sempat hilang karena kabut
tebal menghalangi pandangan. Kerlap-kerlip lampu kota yang semula terlihat
indah sama sekali tak terlihat lagi. Kami lanjutkan saja mendaki agar cepat
sampai ke tempat camping untuk beristirahat dan membuat makanan hangat. Tepat
tengah malam kami sampai di Puncak bayangan Pananggungan, disini sudah ramai
para pendaki mendirikan tenda. Kami memutuskan untuk bermalam disini. Angin
disini sangat kencang, udaranya pun tak kalah dingin. Kami memasang tenda
dengan sekuat tenaga karena angin membuat tenda kami berkibar-kibar.
Tiba-tiba
saja terdengar seperti suara petasan dan ledakan kembang api yang menyalakan
warna merahnya. Kami lumayan terhibur, meskipun kembang api di kota tak
terlihat karena kabut, ternyata para pendaki lain membawa kembang api dan
menyalakannya di Puncak bayangan. Kembang apinya tak seindah kembang api di
kota, namun keramaian dan canda tawa para pendaki di Puncak bayangan itu
cukuplah menghibur kami.
Sebenarnya
Aku agak kecewa karena ternyata suasana puncak bayangan itu tak seperti yang
kubayangkan. Sebelumnya tujuanku ikut mendaki ke Puncak itu adalah untuk
mencari kedamaian, hanya ada kami dan alam. Namun ternyata suasana Puncak
sangat ramai, pertama kami memasuki daerah penuh tenda itu terdengar suara lagu
dangdut terlantun lewat radio. Tapi ternyata mereka seru-seru, jadi tak apalah
bagiku menikmati alam beramai-ramai juga lumayan menyenangkan.
Saat
asik memasang tenda diiringi suara kembang api tiba-tiba saja kabut menghilang.
Subhanallah, akhirnya aku benar-benar melihat kemilau kembang api menyatu
dengan cahaya lampu kota. Kecil tapi luas dan begitu indah. Tidak rugi
perjalanan yang kami lalui tadi. Sayang, kami tidak membawa kamera yang bagus untuk
menangkap pemandangan itu.
Keasyikan
menikmati pemandangan kembang api, aku ditinggalkan memegangi tenda yang sedang
berkibar-kibar sendirian. Kami terus memandang ke arah kota. Terkadang kabut
datang lagi menghalangi pandangan, kemudian pergi lagi, berpindah-pindah
tempat, begitu seterusnya. Angin masih saja bertiup kencang membuat kami
kedinginan. Setelah kembang api mulai tak menampakkan kemilaunya lagi kami
mulai benar-benar serius memasang tenda dan membuat makanan hangat.
DOORR!!
Tiba-tiba kompor satu-satunya yang kami bawa meletus padahal kami belum selesai
memasak. Kami hanya selesai memasak mie. Byuuur!!! Tiba-tiba hujan pun turun
dengan kencang. Kami langsung membereskan perlengkapan yang tercecer dan masuk
ke dalam tenda, menghangatkan badan dan makan seadanya. Sungguh sial perjalanan
kali ini, gara-gara kompor meletus bahan bakar kami habis. Makan apa kami
besok?
Hujan
reda, sekitar pukul 03.00 WIB senior kami bersama calon suaminya datang dan
membawa kue tart. Sungguh kami senang luar biasa karena kami sudah benar-benar
kelaparan, hehe. Sosweet sekali seniorku itu. Dia perempuan dan ini pertama
kalinya ia mengajak calon suaminya itu untuk naik gunung, merayakan ulang
tahunnya. Setelah api ditiup, kami mengucapkan selamat dan menyanyikan lagu
ulang tahun untuk calon suami seniorku itu. Kami berkenalan kemudian makan
bersama dan berfoto ria.
Pukul
05.00 WIB Seniorku dan calon suaminya turun duluan meninggalkan kami. Kami
sendiri masih enak tidur di tenda. Aku mendengar lantunan suara Adzan Subuh dan
sekelompok pendaki sedang sholat berjama’ah. Suaranya sangat merdu membuat
hatiku luluh. Aku sama sekali tidak menyangka masih ada orang menyempatkan
sholat berjama’ah dalam kondisi sedingin ini. Hatiku sangat tentram
mendengarnya.
Setelah
mata kami sudah benar-benar terbuka, kami berniat untuk memasak. Bahan bakar
sudah habis, akhirnya kami memberanikan diri untuk meminta bahan bakar pendaki
lain. Kami memasak bareng pendaki lain tersebut. Untunglah, kami sangat
berterimakasih kepada mereka. Tanpa bantuan mereka, apa jadinya nasib kami.
Kelaparan tentunya. Mereka pendaki dari Mojosari, terdiri empat orang. Sudah
dua hari mereka bermalam disini menantikan badai berhenti. Tujuan mereka ke
Puncak Sejati Pananggungan namun badai tak pernah berhenti sehingga perjalanan
tak bisa dilanjutkan. Aku pun sedikit kecewa karena tak bisa melanjutkan
perjalanan ke Puncak sejati, tapi ya sudahlah lain kali kesana lagi juga bisa.
Lagi pula kami telah terpuaskan dengan pemandangan kembang api tadi malam. Kami
semua pendaki, hari ini memutuskan untuk turun dan tak ada yang muncak.
Memasak
belum selesai angin kencang dan hujan lebat datang lagi. Kami memasak di bawah
tenda kemudian makan beramai-ramai. Setelah itu kami membereskan perlengkapan
dan segera packing. Kami memakai jas hujan untuk melindungi diri dari basahnya
hujan yang deras, namun dinginnya tetap menembus tulang. Aku
berjingkrak-jingkrak berusaha menghilangkan dingin. Akhirnya perjalanan kami
akhiri. Badai itu, meskipun menakutkan, namun menambah sensasi dalam pendakian
ini. Ini pertama kalinya Aku merasakan badai ketika di Gunung.
No comments:
Post a Comment