Friday, December 30, 2011

Mendaki Pegunungan Hyang (1) "Dimanakah Kau, Danau Taman Hidup?"


            Argopuro, salah satu gunung yang populer di kalangan pencinta alam maupun pendaki ini terletak di daerah perbatasan Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Situbondo. Gunung ini memiliki 2 puncak, yaitu Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro. Sebuah lagu dari band indie asal Jember, Tamasya band, berjudul “Edelweiss”  yang sering berkumandang di sekretariat tercinta membuatku semakin ingin menjajal gunung tersebut. Meskipun pada mulanya ada sedikit rasa takut oleh cerita mistis beberapa teman yang pernah mendaki gunung tersebut, akhirnya pada 24 Desember 2011 Aku beranikan diri untuk berangkat menapaki jalur tracking terpanjang di Jawa tersebut.

            Kami 8 mahasiswa, tepatnya 4 mahasiswa dan 4 mahasiswi mengisi minggu tenang untuk mencari kedamaian hati bersama lembutnya kabut dan dinginnya udara pegunungan Hyang. Gunung Argopuro memiliki dua jalur pendakian, yaitu Bremi dan Baderan. Kami memilih berangkat dari Bremi dan pulang melewati Baderan. Untuk sampai ke Bremi, dari Surabaya Kami naik bus dan turun di terminal Probolinggo, kemudian naik angkot hingga Garasi Akas. Sesampainya di Akas, Kami menunggu hingga jam 6 pagi, bus dari Akas  menuju Bremi hanya ada pukul 6 pagi dan 11 siang. Sesampainya di Bremi, Kami mengurus perijinan di Polres setempat kemudian capcus menuju Taman Hidup.
            Kami membentuk formasi. Janah sebagai satu-satunya yang pernah menapaki jalur Argopuro sebelumnya dipilih sebagai penunjuk arah. Rozak berada pada barisan paling depan mengikuti jalur track pada GPS. Saking banyaknya percabangan dan jalur tikus bagi penebang liar, jalur dari Bremi menuju Taman Hidup ini agaknya membingungkan bagi yang pertama kali menapakinya. Nampaknya pengalaman dari satu orang dan alat bantu GPS yang sengaja Kami bawa tidak menjadi jaminan bahwa Kami tidak akan tersesat.
            Di suatu persimpangan jalan Kami agak bingung membuat keputusan. Ikut jalur lurus namun lumayan menanjak, atau belok kanan dengan kontur yang agak melipir. Akhirnya Kami memutuskan untuk mengikuti jalur ke kanan dengan pertimbangan bahwa kedua jalur tersebut pada akhirnya ada pada satu titik pertemuan. Dengan kata lain, lewat jalur lurus maupun kanan akan sama saja. Kami terus mengikuti jalur yang ada hingga akhirnya Kami menemui jalan buntu. “Oh man, ternyata ini jalannya para penebang pohon”. Banyak kayu bekas tebangan yang berceceran. Kami tersesat.

Bekas jalan perambah kayu

            Dengan perasaan yang masih tenang, Kami mengikuti jalur track pada GPS. Meskipun agak mbrusuk-mbrusuk untuk beberapa lama, akhirnya Kami menemukan jalan. Jalan yang agak lebar dengan beberapa persimpangan. Kami dihadapkan dengan masalah baru. Ada jalur ke atas dan ke bawah, lalu jalur yang mana yang akan membawa Kami ke Danau Taman Hidup? Kami mengambil keputusan dengan memilih jalur ke bawah. Setengah jam sudah Kami berjalan. Jalur yang lumayan terjal, namun mudah Kami lalui karena jalan yang menurun. Sampai di bawah rupanya indah sekali. Semak-semak asing yang jarang Kami lihat, di belakangnya ada pemandangan kabut yang putih dan menebal. Mungkinkah Taman Hidup ada disitu? Namun agak aneh ketika Kami mulai mendengar lantunan musik dangdut. Apakah ini jalan menuju pedesaan? Pertanyaan itu tak terjawabkan, karena teriakan Mbak Matus membuyarkan langkah Kami. Menariknya kembali ke atas dengan jantung berdegup kencang dan nafas ngos-ngosan. Ya, Kami memutar arah setelah menyadari arah Kami salah.
            Fyuh, ternyata jalan menuju kembali ke atas lebih menguras tenaga dan memakan banyak waktu. Ada persimpangan ke kanan dan Kami mengikuti jalan itu, sesuai arah pada GPS. Setelah berjalan dan berjalan selama beberapa waktu Kami kembali menemui jalan buntu. Kami semua menghentikan langkah dan beristirahat di semak-semak yang agak datar. Sementara Mbak Matus dan Rozak mendaki lebih ke atas untuk mencari jalan. Mbak Matus seperti menemukan Danau Taman Hidup, tapi rupanya setelah lebih diselidiki yang dilihatnya hanyalah kabut tebal nan putih. Kami semua ingin kembali lagi ke jalan semula, sebelum belok kanan dari jalan persimpangan. Akan tetapi Mbak Matus yakin akan jalan yang dipilihnya. Ia terus mengikuti jalur track pada GPS. Tentu saja Kami tak mungkin meninggalkannya sendiri. Akhirnya Kami mengikutinya juga.
            Jalur yang Kami lewati lebih menjadi. Sebuah turunan yang lumayan curam dengan semak-semak liar yang tak bersahabat. Terpaksa Kami menuruninya walau harus pelorotan. Tempat ini seperti menuju ke jurang atau sejenisnya. Jujur, Aku agak takut. Takut tempat ini semakin menyesatkan, dan Kami semakin tak bisa keluar. Sore hari sudah menjumpai masa akhirnya. Sebentar lagi waktu magrib segera tiba, dan gelap tentunya akan menyapa. Kami memutuskan kembali ke atas. Kembali ke persimpangan semula membutuhkan waktu yang cukup lama, ditambah lagi suasana gelap akan menyusahkan Kami mencari jalur yang benar. Akhirnya Kami menemukan tempat yang lumayan datar. Meskipun tempat ini agak sempit, cukuplah untuk membuat tenda seadanya.
            Kami berangkat dari Polsek sekitar pukul 10 pagi, harusnya Kami sampai di Danau Taman Hidup sekitar pukul 3 sore. Tapi ini sudah beranjak magrib dan Kami masih tersesat di hutan belantara. Rencana untuk mendirikan camp di Danau Taman Hidup menjadi gagal. Aku tak peduli. Aku tak peduli lagi tentang Taman Hidup, tempat yang Aku impi-impikan itu. Aku lelah. Seumur-umur mendaki, baru kali ini Aku tersesat. Apalagi ini di pegunungan Argopuro, banyak berita orang hilang disini. Jujur, Aku sendiri sudah hampir menyerah, sedetik kemudian Aku menyesali keputusanku berangkat ke tempat ini, sedetik kemudian Aku ingin segera sampai ke kota tempat tinggalku. Perasaan penyesalan maupun ketakutan ini tentu saja kusimpan sendiri.
            Aku tak sendiri, Kami berdelapan, dan dari 8 kepala itu tentu cukup untuk berpikir mengenai langkah-langkah yang akan Kami ambil selanjutnya. Kadang Aku berpikir kekhawatiranku ini sangatlah berlebihan ketika melihat ternyata Mereka terlihat sukses membuang jauh rasa takut dan segera mencari solusi dari ini semua. Mereka sama sekali tidak ingin kembali pulang seperti yang dipikiranku. Mereka terlihat lebih kuat. Aku mencoba menguatkan diri, seperti Mereka. Taman Hidup, Cisentor, Puncak, Cikasur, dan Baderan tetap menjadi tujuan Kami.
            Para cowok tidur di tenda yang letaknya agak di bawah dataran tempat tenda para cewek berdiri. Kami berniat untuk rapat koordinasi malam itu, tapi ternyata para cowok sudah pada ngorok tanpa sempat memakan sepotong roti pun. Sungguh Aku bisa merasakan lelah yang dirasakan Mereka. Akhirnya sebelum tidur, Kami melempar sebungkus roti ke tenda cowok kemudian membuka GPS untuk melihat jalur Taman Hidup. Astagaaa! Ternyata jalur Taman Hidup yang selama ini Kami ikuti salah. Orang terdahulu yang menggunakan GPS ini salah mengeplot titik koordinat Danau Taman Hidup. Pantas saja Kami tersesat. Aaaahhh, Aku lega, paling tidak Aku tahu alasan Kami tersesat, rupanya karena kesalahan pengeplotan titik koordinat Taman Hidup pada GPS. Bukan karena kerusakan sistem pada GPS yang Kami bawa, ketidak terampilan Kami dalam menggunakan GPS, atau penyebab-penyabab mistis yang mungkin saja terjadi di Pegunungan angker ini.
            Keesokannya Kami bangun sangat pagi, tak pernah Aku bangun sepagi ini saat pendakian. Kami sempat mendengar teriakan manusia, beneran manusia. Sepertinya suara itu berasal dari Danau Taman Hidup. Kami membalas suara itu dengan berteriak kencang, berharap Mereka juga mendengar Kita. Tapi sia-sia. Kami segera melakukan pembagian tugas setelah sarapan dengan snack dan roti secukupnya. Janah dan Rozak berangkat terlebih dahulu untuk mencari jalur. Aku dan yang lain beres-beres tenda dan packing. Setelah selesai packing, sekitar pukul 7 pagi, Kami segera mengikuti jalur yang dilewati Janah dan Rozak. Mereka daritadi sudah berteriak-teriak memberi isyarat pada Kami untuk bergegas mengikutinya. Mereka memasang streamline berupa pita warna biru pada beberapa pohon agar Kami tidak kehilangan jejak.
            Akhirnyaa Kami menemukan Danau Taman Hidup sekitar pkul 8.30 pagi. Benar dugaan Kami, Taman Hidup tak jauh dari lokasi Kami bermalam. Sayang sekali Kami tidak bisa bermalam di danau ini. Tapi Aku sudah cukup lega karena telah keluar dari zona sesat. Kami bergegas menuju jembatan yang kayunya sudah lapuk dan berujungkan gubuk tua di tengah danau. Di gubuk tersebut telah ramai anak-anak kecil usia SMP sedang memancing. Mereka penduduk lokal dan telah terbiasa bermain disini.


Menemukan Danau Taman Hidup

            Setelah puas berfoto, Kami bergotong royong memasak nasi, soto, dan telur dadar. Soto berkuah kuning yang hanya terasa pahitnya kunir karena ada bumbu yang kurang. Meskipun rasanya agak aneh, Kami tetap lahap memakannya. Mungkin ini karena perut yang keroncongan setelah energi terkuras habis akibat tersesat seharian. Sekitar pukul sebelas siang, Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan Kami selanjutnya adalah Cisentor. Sebenarnya Aku agak takut. Takut kemungkinan nyasar kembali. Tapi karena Mereka yakin, Akhirnya Aku meyakinkan diri. Cukup kemarin saja Kami tersesat di pegunungan hyang ini. Tunggu Kami di Puncakmu Dewi Rengganis!


Bersambung*

No comments:

Post a Comment