Friday, December 30, 2011

Mendaki Pegunungan Hyang (2) "Argopuro yang Mistis, Benarkah Dewi Rengganis Manis?"


            Kami kembali melanjutkan perjalanan di pegunungan Hyang. Pegunungan dengan jalur track terpanjang di Jawa dan dengan medan yang lumayan menyiksa bagi pendaki pemula. Kami berangkat dari Danau Taman Hidup, sebuah danau yang terkenal akan keindahannya di pegunungan ini menuju Cisentor, sebuah pondokan tempat persimpangan antara puncak dan Cikasur. Selama perjalanan dari Danau Taman Hidup hingga Cisentor, Kami dimanjakan oleh pemandangan hutan yang masih lebat. Pepohonan menjulang tinggi dengan ditumbuhi tumbuhan paku serta lumut-lumut hijau yang menambah kesan rimba. Gunung ini sangat sepi pengunjung. Selama perjalanan ke Cisentor, Kami sama sekali tak berpapasan dengan pendaki lain.

Savana
            Kami telah sukses melewati hutan cemara dan pondok sinyal meskipun dengan perjuangan yang ekstra ngos-ngosan. Kami sempat putus asa karena kelelahan dan kedinginan. Bukan Kami semua. Janah dan Rozak masih semangat melanjutkan perjalanan dengan langkah yang sangat kilat. Aku sampai heran dan bertanya-tanya, apa makanan Mereka berdua?. Mereka masih sangat kuat melangkahkan kaki disaat Kami hampir mati kedinginan. Seumur-umur mendaki, baru kali ini pula Aku kedinginan pada saat perjalanan. Sungguh ini adalah waktu yang tak tepat untuk mendaki gunung. Dinginnya udara mungkin bisa ditutupi jaket, tapi dinginnya air hujan tak ada yang bisa menghilangkannya kecuali pakaian basah yang Kita kenakan dibuang jauh-jauh. Sungguh baru kali ini Aku mendaki di musim hujan. Di Argopuro pula.

Hutan lumut

            Hari sudah semakin sore dan cahaya matahari yang redup tertutup mendung akan digantikan rembulan yang bisu tak mampu mengusir gelap. Kami baru sampai di Kali Kenik, sementara sebentar lagi langit akan menghitam. Janah tetap pada pendiriannya ingin melanjutkan perjalanan ke Cisentor, tak peduli gelap menghadang. “Setengah jam lagi juga sampai kok”, bujuknya. Kami yang sudah kelelahan dan takut tersesat dalam gelap serempak menolaknya. Ditambah lagi kondisi kaki teman Kami yang sudah agak pincang jalannya. Tak tega pula Aku melihatnya. Kami segera mendirikan tenda, memasak, makan, lalu tidur.

Bernarsis ria di kali kenik

            Kami berencana untuk keesokan harinya berangkat pagi-pagi tanpa memasak, dan akan memasak di Cisentor. Tapi rencana hanyalah rencana. Keesokan paginya benar saja Kami tidak memasak, Kami hanya makan snack dan roti seadanya. Tapi cuaca yang buruk, hujan yang tanpa henti, membuat Kami malas untuk keluar tenda dan melanjutkan perjalanan. Kami menunggu dan menunggu sampai hujan reda. Namun yang ditunggu tak kunjung reda. Akhirnya sekitar pukul 10 pagi Kami berangkat dari Kali Kenik menuju Cisentor. Seperti biasa, Janah dan Rozak memimpin di depan. Yang di belakang, Aku dengan malu-malu setiap lima menit sekali memegang perut sambil membayangkan makanan lezat. Huft, sungguh ini tak pantas ditiru, melanjutkan perjalanan tanpa mengisi energi dengan cukup.
            Gara-gara seharian nyasar di hari pertama sebelum sampai Danau Taman Hidup, rencana perjalanan Kami molor hampir satu hari. Bahkan beberapa dari Kami tidak memiliki semangat dan optimisme lagi untuk summit attact. “Sudahlah, tujuanmu mendaki untuk apa? puncak bukanlah tujuan satu-satunya. Kondisinya sekarang sudah jam berapa? Aku sudah tak menginginkan puncak lagi”. Salah satu dari Kami mengeluarkan pendapat yang di iyakan oleh beberapa yang lain. Aku sendiri, dari hati ingin tetap ke puncak dan memaki-maki diri sendiri karena tak tahu apakah suatu saat bisa ke tempat ini lagi untuk ke puncak. Aku sangat ingin tahu wajah Puncak Rengganis. Apakah semanis dalam lagu itu? “Manis manis manis engkaulah Puncak Rengganis”, begitulah liirik lagu berjudul “Edelweiss” yang sering dikumandangkan di komputer sekretariat. Sebuah lagu oleh-oleh dari Jember. Lagu ini tenar di kalangan pecinta alam di Jember. Anggota grub band yang menyanyikan lagu ini pun berasal dari alumni pecinta alam. Tamasya band.


Pondok Cisentor
            Sekitar pukul 1 siang Kami sampai di pondok Cisentor. Sebuah pondok satu-satunya telah ditempati para calon anggota Sispala yang sedang menjalani masa pendidikan. “Ayo, Siapa yang mau muncak, Aku mau muncak, yang muncak ayo muncak yang tidak nunggu disini, Kita makan cracker aja dulu, masaknya nanti saja setelah muncak”. Gelegar suara Janah penuh entah penuh amarah atau semangat. Meski pada awalnya sudah banyak yang patah semangat untuk summit attact, Akhirnya Kami semua menyerah juga. Kami tidak bisa membohongi diri, bahwa Kami ingin menikmati indahnya Puncak Rengganis. Sudah jauh-jauh sampai disini masak iya gak sampai puncak. Ditambah lagi kondisi yang memungkinkan karena hujan sudah reda.
            Kami semua akan melanjutkan perjalanan ke puncak. YEAAY!! Aku sangat senang, karena dari awal Aku sangat ingin melihat dengan mataku sendiri manisnya Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro. Walaupun sungguh sebenarnya Aku ingin makan nasi, tetapi karena dikejar waktu, perjalanan pulang pergi Cisentor-Puncak sekitar 5 jam, akhirnya Aku cukup menyantap cracker. Masak nasi plus lauk pauk membutuhkan waktu yang lumayan lama, bisa lebih dari satu jam. Kami tidak mau dalam keadaan masih dalam perjalanan setelah cahaya matahari terbenam. Satu jam adalah waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan dari Cisentor menuju ke Rawa Embik. Rawa Embik adalah mata air tertinggi di pegunungan ini. Sesampainya di Rawa Embik, Kami berhenti sebentar untuk mengambil air. Sangat segar.

Narsis diantara kabut

Jalan menuju puncak

            Kami melanjutkan perjalanan lagi tapi beberapa jam kemudian hujan turun. Rintik hujan diiringi kabut dingin tak menghentikan langkah Kami. Kami hanya berhenti beberapa menit untuk memakai jas hujan. Tak lama kemudian hujan reda. Segala rasa lelah terhapuskan oleh indahnya hamparan Edelweiss dan kabut tipis. Subhanallah, apakah syurga lebih indah dari ini?. Edelweiss dan efek kabut tipisnya memberikan kesan Kami sedang berada di dunia lain. Seperti inikah taman bermain Dewi Rengganis?

Terbentang hamparan Edelweiss

            Kami melanjutkan perjalanan sambil berfoto ria hingga akhirnya Kami sampai di pertigaan. Pertigaan ini adalah pemisah tiga jalur, jalur Puncak Rengganis, jalur Puncak Argopuro, dan jalur turun ke Cisentor. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Rengganis. Belum sampai puncaknya, hujan kembali turun. Kami tetap melangkah membelah hujan dengan jas hujan Kami. Alhasil Kami hujan-hujanan di Puncak. Meskipun hujan dan kabut agak menghalangi pandangan, namun Kami sepakat, Puncak Rengganis benar-benar manis. Benar-benar indah. Apakah Dewi Rengganis juga manis? Kami tak peduli lagi, karena Kami tahu, angin pun tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sebelum menaiki bebatuan di puncak rengganis

            Kami segera berfoto ria di puncak meskipun hujan membasahi baju yang Kami kenakan untuk berpose di depan kamera. Karena dingin dan kucuran air hujan yang semakin membuat pakaian Kami basah, akhirnya waktu 15 menit Kami cukupkan. Kami segera turun kembali menuju Cisentor. Kami tidak menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Argopuro karena takut kemalaman. Katanya untuk mencapai Puncak Argopuro harus melewati medan yang lebih curam. Akhirnya Kami hanya sempat melambaikan tangan untuk Puncak Argopuro. “Kami akan mampir kapan-kapan”. Janji Kami yang tak tahu akan Kami tepati atau tidak. Sebelum magrib Kami  telah sampai di Cisentor dan segera memasak serta mendirikan tenda. Sambil menggigil.

Puing kerajaan dewi rengganis


Berfoto di puncak rengganis

*Bersambung*

No comments:

Post a Comment