Friday, December 30, 2011

Mendaki Pegunungan Hyang (3) "Membelai Mistisnya Angin Lembah Cikasur"


            Setelah menikmati suasana indah di Danau Taman Hidup dan puncak Rengganis, tujuan berikutnya adalah lembah Cikasur. Cuaca tak mau berkompromi ketika kami akan memulai perjalanan dari Cisentor menuju Cikasur. Hujan tidak juga reda dari tengah malam hingga siang bolong. Alhasil, kami bangun kesiangan. Kami segera memasak, beres-beres, dan capcus. Pukul 1 siang, kami baru berangkat menuju Cikasur. Kami sempat bersisipan dengan 3 orang pendaki asal Semarang. Tiba-tiba cuaca cerah dan panas. Beruntung sekali ketiga pendaki tersebut, pasti mereka mendapat gambar yang lebih cerah di puncak. Kemarin kami hanya mendapat gambar puncak berlatar belakang kabut tebal dan mendungnya langit. Tapi kami tetap bersyukur sempat melihat langsung makam Dewi Rengganis yang terdapat di atas puncak.

Perjalanan dari Cisentor ke Cikasur

            Waktu yang kami perlukan untuk sampai di Cikasur dari Cisentor hanya 2,5 jam. Medan yang kami lalui pun sangat memanjakan mata. Meskipun sebelumnya kami melewati pemandangan monoton tanaman setinggi alang-alang yang tumbuh liar, akhirnya kami menemukan sabana yang sangat indah ditumbuhi berbuket-buket rumput liar yang tertata apik. Sekitar Pkl 15.30 WIB Kami sampai di hamparan savana dengan garis bekas landasan pesawat terbang Jepang yang masih bisa terlihat jelas. Inilah pemandangan di Cikasur. Rumput-rumput hijau bergoyang tertiup semilirnya angin pegunungan. Sangat menentramkan hati, disamping juga menegakkan bulu kuduk karena cerita misteri di lembah ini.
Berlatar belakang Lembah Cikasur

            Cikasur memang terkenal dengan kisah mistisnya. Maklum saja, disini tempat bekas tempat penyiksaan pekerja rodi oleh tentara Jepang. Konon katanya sering terdengar suara seperti aba-aba baris-berbaris dalam bahasa jawa. Kadang terdengar juga suara isak tangis yang menyayat dari bekas landasan tersebut. Untung saja kami tidak menjumpai yang beginian.
            Ketika yang lain sibuk memasang tenda di dekat sebuah pondokan, Aku, Janah, dan Nurma melarikan diri di sebuah sungai kecil tak jauh dari tempat kami memasang tenda. Kami bertiga sibuk menikmati keindahan sekitar sungai itu sambil berfoto-foto dan memanen selada air hingga dua kresek besar. Selada air ini nantinya akan kami masak menjadi tumis yang katanya lezat dan sebagian lagi akan kami bawa pulang sebagai oleh-oleh. Sungainya kecil dengan sepanjang jalur ditumbuhi selada air dan bunga-bunga yang indah. Aku sangat senang bisa meminum langsung air di sungai sejernih ini, airnya sangat segar dan bebas pencemaran. Mungkin jika seumur hidup tinggal disini, umurku akan panjang, dan riwayat kematianku bukan karena penyakit melainkan karena kedinginan. hahaha.
Sungai Cikasurpenuh selada air

            Kami memasak di dalam pondokan. Karena kompor kami sedikit bermasalah, akhirnya kami memasak di atas tumpukan batu. Angin yang lumayan kencang memaksa kami untuk mengeluarkan usaha dan kesabaran yang ekstra untuk mematangkan sekedar nasi, tumis, dan air hangat. Kepulan asap yang ditimbulkan dari api pembakaran membuat mata terasa pedih. Setelah masakan siap, kami segera menyantapnya di dalam tenda. Sambil berfoto ria.


Pondokan di Cikasur
            Esok hari kami sama-sama memasak di dalam pondokan bersama beberapa rombongan dari Jember. Kami berkenalan. Mereka berasal dari salah satu Sispala atau pecinta alamnya anak SMA di Jember. Puluhan dari mereka masih SMA, sedangkan beberapa diantaranya adalah alumni yang bertugas untuk membina adik-adiknya. Mereka bercerita banyak, dan diantaranya adalah cerita mistis. Mulai dari bertemu sosok perempuan di kamar mandi Baderan, dikejar orang tua tanda petik makhluk gaib, hingga dibangunkan suara nangka jatuh pada tengah malam. Aku sendiri percaya tidak percaya karena semalam kami baik-baik saja. Sama sekali tidak ada suara aneh yang mengganggu kami kecuali suara angin kencang yang membelai rumput dan tenda kami. Namun ada satu cerita misteri yang benar-benar kami alami di Cikasur. Pada saat asyik memasak sambil bercerita, tiba-tiba terdengar satu suara pukulan gong yang lumayan keras. Anehnya, kami semua mendengarnya. Pada awalnya aku tidak ngeh. Aku kira itu suara berasal dari desa di sekitar Cikasur, sampai akhirnya aku sadar, desa terdekat adalah Desa Baderan dan untuk mencapainya kami masih harus berjalan naik turun bukit selama 8 jam. Jadi tidak mungkin suara dari desa terdengar disini. Kami semua menyimpulkan bahwa itu suara makhluk gaib yang sedang ada gawe “mengadakan pesta”. Aku masih percaya dan tidak percaya, masih bertanya-tanya sampai sekarang walaupun tahu tak seorang pun dapat menjawabnya.

Perjalanan pulang “Cikasur menuju Baderan”

            Siang hari sekitar pkl 10.00 WIB kami segera melanjutkan perjalanan pulang menuju Baderan. Jalur yang kami lalui lumayan landai dan banyak turunnya, namun tak sedikit pula bukit yang memaksa kita untuk menaikinya kemudian menuruninya. Kakiku rasanya ingin copot dari pergelangannya. Untuk mencapai Cikasur dari Baderan sebenarnya bisa dengan hanya membayar seratus ribu, dan sebuah motor ojek siap mengantarkan kita. Tapi aku tidak bisa membayangkan apakah nanti jantungku akan baik-baik saja jika benar-benar naik ojek di jalur itu, jalan kaki saja aku sudah kepleset beberapa kali sampai pantatku terasa memar.
            Akhirnya kami sampai di Kecamatan Besuki, Desa Baderan sekitar menjelang magrip. Tak terasa sudah hampir 8 jam kami berjalan naik turun bukit. Aku langsung duduk di depan rumah warga, melepas lelah. Banyak tukang ojek yang sudah siap menjemput kami, namun kami tidak berniat untuk ngojek. Kami segera menuju warung terdekat untuk mengisi perut yang sudah kosong. Beberapa diantara kami segera mencari pos perijinan untuk melapor. Tak disangka-sangka kami telah membuat kesalahan sehingga mas-mas polisi hutan yang menjaga pos tersebut memarahi kami. Sebelumnya kami tidak tahu bahwa kawasan pegunungan Argopuro ini termasuk kawasan konservasi dan untuk memasuki wilayah ini, dengan tujuan apapun harus membawa SIMAKSI (surat izin masuk kawasan konservasi) yang sebelumnya harus diurus di BKSDA terdekat.
            Setelah kenyang makan di warung, muncul sosok angkutan umum menjemput kami. Sewaktu angkot yang kami tumpangi akan meluncur menuju kota, kami berpapasan lagi dengan 3 pendaki dari semarang, alhasil kami pulang bareng.
            Sumpah, perjalanan ini bikin kapok namun juga bikin ketagihan. Kapok karena jalurnya yang panjang dan melelahkan membuat kakiku hampir membuat kakiku sampai bengkak, dan ketagihan karena pemandangannya dan suasananya yang patut untuk dirindukan.

Dengar dengar dengar engkaulah Edelweiss ku sayang sayang
Manis manis manis engkaulah Puncak Rengganis
Tapi sayang sayang bumi juga butuh cinta
Bumi juga butuh kasih sayang Kita
(Tamasya band)

            Lagu band indie dari Jember ini mengiringi perjalanan kami. Tuntas sudah perjalanan ini kami lalui. Selamat tinggal Argopuro, sampai bertemu lagi. Lain kali kami akan kembali untuk melepas rindu di taman cantikmu.


*Tamat*

No comments:

Post a Comment